WILUJEUNG SUMPING

WILUJEUNG SUMPING

Jumat, 14 September 2012

Kuliner Bandung (Part 2)

Nyambung lagi membahas masalah isi mengisi perut hehehe....
Untuk kuliner Bandung Part 2 ini saya ingin mencoba memperkenalkan cemilan khas Bandung yang udah terkenal (...wah..dah gak update dong) hehe...eits! tapi jangan salah, info ini beda dengan yang lainnya..penasaran? coba kita cek....

Round 1

SEBLAK...


 Makanan ini sebenernya ada dua faraian, basah dan kering.
Bahan dasar cemilan ini adalah kerupuk. kerupuk yang sering dipakainya adalah kerupuk mentah yang berukuran kecil-kecil, itu tu..kerupuk yang biasa mangkal sama mang tukang bubur kalo nga' kerupuk yang suka begadang sama mang nasi goreng....
Dari dua farian (basah dan kering) ini bedanya pada pengolahannya saja, tapi untuk masalah rasa tetap sama.
Gurih dan sama-sama puuuedes.....! pokonya nuendang!
Dengan pengolahan yang cukup simpel, membuat semua orang bisa membuatnya. tapi ada beberapa brand dan merk yang terkenal untuk cemilan ini, salah satunya prodak mak icih....yang hampir mendunia hehe...lebay!
Kalau mencoba cemilan ini dijamin ditanggung akibatnya...kalo gak ketagihan ya...bolak-balik ke toilet hehe....

Gurilem....

Bentuk makanan ini panjang-panjang sebesar kelingking anak-anak. Kalau untuk rasanya renyah, gurih dan tentunya pedes. Tapi yang ini pedesnya lebih sedikit soft dibandingkan dengan seblak.
Makanan ini sebenernya lebih dulu eksis dibandingkan dengan seblak tapi pamornya masih kenceng dimata peminatnya...

Basreng


Nah....kalo yang ini cemilan modifikasi dari Baso. Bisa baso ikan ato baso daging.
Kalau biasanya baso dimakanya pake kuah atau dicolok (cara makan baso waktu kecil)..kalo yang ini diiris tipis-tipis lalu digoreng dah gitu dikasih bumbu, bumbunya juga berfariasi...mau pake penyedap makanan ato bumbu khusus untuk basreng (orang bilang namanya "atom")ato bisa pake bubuk cabe kalo yang pingin lebih hot...untuk masalah rasa tidak beda jauh dari rivalnya...boleh coba...

Nah..itu beberapa cemilan khas Bandung yang patut dicoba untuk nemenin yang mau jalan-jalan ke kota kembang yang sejuk tea.
pokona mah pas buat ngangetin badan dicuaca yang dingin dikota Bandung mah....selamat jajan..

Jumat, 07 September 2012

Liburan di Baturraden Purbalingga

Gerbang samping tempat wisata Baturraden
View dari atas

Dewi mejeng dibawah patung Baturraden

Ikutan eksis ah....hehe...

Libur di tempat wisata Baturraden seharian ternyata tidak bisa menjelajah kesemua tempat-tempat wisatanya, khususnya ke objek wisata pancuran tujuh....soalnya jauh....tapi lumayan puas..

Sabtu, 23 April 2011

video kekerasan dalam persaudaraan

Kekerasan yang dilakukan seorang kakak kepada adiknya

(he..he..Hereuy barudak)

video kenangan

Kenangan dengan teman-teman waktu masih bekerja di PT. Indonesia Hanshin Electric Wire & Cable.

Liburan di Rumah Ramdan (Orangnya yang Gendut) di daerah Wanayasa
Suasananya cukup lumayan sejuk dan masih alami..pokoknya indah!
Dalam Video :
- Wahyu (yang nguap ngak ditutup)
- Agus Prawoko alias Bapake
- Saya (Yang imoet hehe...)
- Sajidin (pake kupluk)
- Ramdan AP (gendut, buntet, kringetan hehe.. pis ah)
dan tentunya kameramen kita Gugun gunawan yang nongolnya bentar tp banyak ngomongnya..



Jumat, 22 April 2011

Part 1


MEMORY SUMMER

Namaku Sammy!. Anak desa yang kini sedang meluncur dengan sepeda kumbang yang sesekali mengeluarkan suara berdecit dari rantai nya yang kering. Tapi itu tak mampu menggangu semangat kakinya untuk terus mengayuh pedal. Walau keringat mulai menggenagi keningnya dan teriknya matahari yang membakar seluruh permukaan bumi tidak membuat dia menghentikan gerakan kakinya, untuk sejenak beristirahat atau berteduh dari panasnya matahari. Dari bibirnya yang kering tersungging senyum, kecil! Tapi cukup mewakili kegembiraan yang tampak jelas dari pancaran matanya yang berbinar-binar.

Jalan yang diapit oleh persawahan mengeluarkan debu-debu kecilnya yang terhempas oleh ban sepeda. Meninggalakan bayangan putih berterbangan menempel pada rumput yang banyak tumbuh disisi parit dan sebagian lagi berterbangan berpacu dengan burung-burung pipit yang meninggalkan suara riuh, terbang! Terusik oleh suara berisik dari ban sepeda. Semilir angin bertiup menerpa muka merona. Memainkan anak rambut yang menempel dikening karena keringat.

Brak!! Sepeda yang aku sandarkan pada pohon mangga disebelah rumah terjatuh karena mungkin tadi aku kurang pas menyandarkannya. Tapi aku tidak memperduliakn itu. Aku berlari masuk kerumah, dengan tanpa memperdulikan kebiasaan keluarga kami ketika kami akan masuk kedalam rumah. Membuka sepatu, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Adab kesopanan yang keluarga kami selalu junjung.

Aku berlari menyeberangi ruang tamu yang nampak lengang. Ruang makan pun terlihat lengang. Kemana semua orang? Aku melemparkan pandanganku keluar jendela, melihat kearah halaman belakang. Di tempat ibu biasa sedang sibuk menunggu padi yang sedang dijemur. Tapi dia tidak Nampak disana. Angin berhembus dari jendela, menerpa mukaku yang terasa dingin dan menyegarkan. Aku menikmati sejenak hembusan angin yang membuatku makin merasa sempurnanya kebahagianku hari ini.

“Sam!” aku dikejutkan oleh sapa emak yang baru keluar dari dapur. Dia menatapku penuh arti. Aku mengerti, sambil menunduk aku mencium tangan emak.

“Asalammualaikum mak?”

“Walaikum salam! Kenapa kamu masuk rumah dengan tergesa-gesa seperti itu, dan kenapa tidak mengucapkan salam?” Emak menatapku dengan tatapannya yang selalu teduh menurutku. Tatapan yang membuatku selalu nyaman bila berada didekatnya. Tatapan yang tidak pernah menuntutku untuk memahamai sesuatu yang sulit untuk aku fahami.

“Sekarang cepat buka sepatumu, dan ganti bajumu lalu makan, emak sudah masakan makanan kesukaanmu.” Sambung emak dengan tidak menunggu jawaban atas pertanyaanya tadi.

“Mak!” tatapku berharap. Aku berharap emak mengerti kondisiku saat ini. Aku ingin segera membagi kebahagian yang sedang aku rasakan saat ini.

“Sudah…cepat sana! Nanti kamu ceritakan sesudah makan saja.” Emak sepertinya mengerti dengan tatapanku tadi. Terlihat dari tatapan matanya yang kini terasa berbinar. Aku menganguk. Bergegas aku lari kekamarku. Dengan perasaan yang serasa ingin aku segera tumpahkan. Aku cepat-cepat kembali keruang makan dengan sebelumnya aku melaksanakan semua perintah emak.

Emak sudah menungguku disana. Peralatan makan sudah semua dia persiapakan, dari piring dan segelas air putih. Aku duduk disampingnya. Kulihat kursi tempat bapak biasa duduk masih kosong.

“Bapak kemana mak?” tanyaku. Karena tidak seperti biasanya, bapak sesiang ini belum pulang dari sawah.

“Ada di belakang, mungkin sekarang sedang di kamar mandi.” Jawab emak sambil mengambilkan nasi kedalam piringku.

“mau pakai apa sam?” emak menawarkan.

“Nanti saja mak, nunggu bapak.” Aku tidak sabar menunggu bapak utuk cepat-cepat datang.

“Ya sudah. Sebentar lagi juga bapakmu datang.” Sepertinya emak mengerti dengan kegelisahanku.

Akhirnya bapak datang juga, dengan tangan yang masih basah dia duduk di sampingku. Dari raut mukanya yang datar terlihat wibawanya yang sejak dari dulu seperti tidak pernah luntur karena termakan usia. Emak mengambil piring milik bapak. Dua centong nasi dia tuangkan kedalam piringnya. Dan tanpa menayakan lauknya ibu langsung mengambilkan ikan goreng dengan sayur oseng kangkung kesukaan bapak. Ibu menyodorkan piring yang kini sudah lengap dengan isinya kedepan bapak.

“Kamu mau sama apa sam?” kini ibu giliran mengambil piringku.

“Sama saja dengan bapak.” Jawabku singkat.

“Tidak sama ayam goreng kesukaan kamu?” ibu sepertinya merasa heran dengan pilihanku tadi, mungkin karena tidak biasanya aku melewatkan menu ayam goreng kesukaanku itu. Ibu berhenti sejenak, meyakinkanku.

“Nanti saja mak.” Aku mencoba menjelaskan.

Seperti biasa, sebelum kami makan kami selalu berdoa dulu, dipimpin oleh bapak. Tradisi keluarga kami sejak dulu yang sampai kini masih dicoba untuk dipertahankan. Adab keluarga yang menurut bapak sudah banyak dilupakan oleh keluarga-keluarga lainnya. Dan itu bukan suatu yang buruk untuk di pertahankan menurutnya.

“Bagai mana hasilnya sam?” bapak akhirnya bertanya setelah beberapa waktu lalu suasana diisi oleh keheningan. Tentunya setelah kami beres makan. Karena kami punya aturan “dilarang berbicara ketika sedang makan.” Jadi baru sekarang bapak bertanya padaku.

“Sam berhasil Pak!” jawabku mantap. Serasa aku ingin berlari memeluk bapak dan emak, menuangkan rasa luapan kegembiraanku yang kupendam sejak dari tadi. Tapi aku takut dan malu, karena memang sebelumnya aku belum pernah melakukan itu kepada bapak khususnya, karena kalau kepada emak hal itu sering aku lakukan, seperti ketika aku sedang sakit atau sedang bermanja-manja, emak sering memelukku.

Emak mendekatiku dan mencium keningku.

“Syukurlah kamu lulus sam!” sambil mengelus-elus rambutku akhirnya emak memelukku. Aku membalas pelukan emak. Kulihat bapak disana menatapku dengan tatapan datarnya, tapi kulihat sebersit kebangaan terpancar dari tatapan datarnya itu.

“Tapi nilaimu bagaimana?” Tanya bapak seperti kurang puas dengan hasilku yang Cuma sekedar lulus saja. Memang bapak orangnya yang paling berharap banyak kalau aku harus menjadi yang terbaik. Untuk itu dia yang selalu mendidik dan mengingatkanku untuk terus berusaha dan belajar keras. Dan tidak jarang dia akan memarahiku kalau dia melihatku bermalas-malasan. Jadi wajar kalau sekarang dia ingin melihat hasilnya.

“Sam yang terbaik pak!” sekali lagi kuucapkan itu dengan semangat. Dan sekali lagi kulihat sebersit kebanggan dari tatapan bapak. Perasaanku sekarang sudah sedikit lega, karena luapan emosi dan semangat yang sedari tadi menghimpit dadaku sudah aku keluarkan. Yang membuat aku serasa sudah tidak memiliki beban. Dengan senyum yang masih tersisa dibibirku, aku menarik nafas lega.

“Kamu jadi ikut pamanmu tinggal di kota?” Tanya bapak setelah beberapa waktu tadi hening. Dan emak kini duduk disebelahku, menatapku dengan penuh harap. Entah apa yang harus aku katakan dan aku putuskan. Dilain pihak aku ingin sekali melanjutkan sekolah ke kota, tapi dilain pihak keinginan emak selalu membayangiku. Dia ingin aku menetap disini, mengurus usaha keluarga. Sebagai anak tunggal aku yang harus meneruskan usaha keluarga kata mereka. Tapi bagaimana dengan cita-citaku?

Kupegang kedua tangan emak. Kutatap matanya yang terlihat semakin sendu menanti keputusanku. Suasana sejenak menjadi hening. Bahkan semilir angin yang berhembus melalui jendela pun terdengar sangat jelas ditelingaku. Segumpal angin menghantam mukaku, membuatku sadar kalau emak menunggu jawabanku.

“Mak! Sam ke kotakan untuk sekolah, nanti juga pulang lagi kalau sudah lulus. Sam Cuma gak mau saja kalau Sam hanya berhenti sampai disini.” Aku menjelaskan kepada emak dan berharap dia mengerti dengan keputusan dan keinginanku. Sepertinya emak tidak puas dengan alasanku. Dia menatapku lekat-lekat.

“Mau Emak, kamu sekolah saja disini, gak usah sampe jauh-jauh kesana.” Emak mengutarakan ketidak setujuanya.

“Tapi mak! Sekolah disinikan terlalu terbatas pilihanya, dan jaraknya pun cukup lumayan jauh dari rumah kita, bahkan Sam pun harus masih tetap kost, karena kalau Sam harus pulang pergi cukup banyak memakan waktu.”

Emak terlihat binggung, sepertinya dia sudah tidak punya alasan lagi untuk mencegahku untuk pergi ke kota. Dengan tatapan sendunya emak mencoba berharap.

“Sudahlah Dek, sam kan tidak akan lama disana, lagi pula dia kan bisa pulang sebulan sekali atau kalau perlu dia bisa pulang seminggu sekali. Kamu gak perlu khawatir. Dia kan pergi kesana untuk mengejar cita-citanya, kalau harus tetap disini akan jadi apa dia nantinya. Biarlah dia belajar mandiri.” Bapak menjelaskan kepada emak. Aku yang mendengar itu seperti mendapat semangat untuk mempertahankan keinginanku. Ternyata bapak mengerti dengan keinginanku.

Emak menghela napas dalam, sepertinya dia mencoba memahami keinginan ku. Aku mengerti rasa kebertanya kalau aku nanti sampai meninggalkannya. Aku adalah anak tunggal di keluarga ini jadi kalau aku tidak ada dirumah, rumah terasa sepi kata emak waktu itu.

“Mak! nanti Sam akan pulang sebulan sekali atau kalau perlu seperti kata bapak Sam akan pulang seminggu sekali.” Kini emak mengangguk mengerti, walau aku tau didalam hatinya dia masih tetap tidak ingin aku sampai pergi meninggalkanya. Tapi yang jelas sekarang emak sudah menyetujui rencanaku dan itu yang paling aku butuhkan dari keluargaku. Restu dari mereka, karena aku percaya restu dan ridho mereka akan membuat aku akan mudah untuk mencapai semua tujuanku. Terimakasih mak! Aku berkata dalam hati.

“Tapi jangan lupa. Sam harus terus menghubingi emak.” Emak memberi syarat, syarat yang terlalu mudah untuk aku laksanakan nantinya. Aku mengangguk mantap.

“Baik mak!” aku tersenyum lebar. Dan disana emak dan bapak menyemangatiku dengan senyumnya.

Kebahagianku hari ini serasa sempurna. Aku telah lulus dan yang penting kedua orang tua ku merestuiku untuk aku pergi kekota, melanjutkan sekolah.

Kurebahkan tubuhku diatas dipan yang ada diberanda rumah. Semilir angin membuaiku dengan lembut, mengalir dari atas kepala sampai keujung kakiku. Suara burung pipit yang kebetulan bersarang di atas pohon mangga deoan rumah terdebgar riuh. Sepertinya mereka baru menetaskan anak-anaknya, karena kemarin suasana di atas masih terasa sunyi, tapi kini terdengar sangat ramai dengan suara anak burung pipit yang sedang ingin makan. Sejenak pikiranku melayang, menikmati hidup yang terasa indah yang tuhan berikan padaku, dan tentunya pada keluarga burung pipit diatas sana. Sepertinya hidupnya terasa sempurna dengan kehadiran anak-anak mereka yang baru menetas. Apa kau akan seperti itu kelak? Seperti keluarga burung ppipit diatas sana, memiliki keluarga dan bahagia seperti mereka? Aku tersenyum membayangkan itu semua. Tiba-tiba aku teringat kepada Rani. Rani adalah teman ku dari kecil, dia adalah teman yang selama ini selalu dekat denganku, teman yang selalu mengerti aku begitupun sebaliknya. Rani adalah teman yang aku anggap bukan sebagai teman, tapi lebih seperti sole mate bagiku. Walau tidak ada pengakuan, kami tau kalau kami saling menyukai dan mencintai, dan itu sudah berjalan sejak dulu, dan kami membiarkan itu berjalan apa adanya seperti air mengalir.

‘Rani harus tau rencana ini!’

Aku beranjak dari atas dipan. Kucari sepeda yang tadi kusandarkan dipohon mangga kini telah berpindah tempat kesebelah rumah, mungkin emak atau bapak yang sudah memindahkanya. Dengan terburu-buru aku menyambar dan mengayuhnya cepat-cepat. Rasanya aku ingin cepat-cepat memberikan informasi bahagia ini kepada Rani. Aku ingin tau reaksi Rani, pasti dia akan terkejut, tapi mungkin reaksinya tidak akan terlalu histeris karena aku tau dia dan dia tau aku, bagai mana predikatku dalam pelajaran sekolah, karena memang aku sering mendapatkan juara satu dikelas dan Rani tau itu, walau sebenarnya dia adik kelas disekolahku dan karena setiap pembagian raport untuk juara satu selalu dipangil kedepan lapangan untuk mendapatkan hadiah, jadi Rani pasti tidak akan heran jika aku sampai lulus, mungkin dia baru akan terkejut dan histeris bila mendengar aku sampai tidak lulus. Walau reaksinya nanti tidak akan berlebihan tapi aku tetap berharap dia akan memberiku selamat. Sambil kukayuh sepeda. Aku tersenyum sendiri.

Matahari yang kini mulai condong kearah Barat menyinari mukaku yang berminyak. Dengan sedikit hembusan angin rasa panasnya tidak begitu terasa dikulitku. Aku terus mengayuh sepeda dengan sesekali aku hentikan mengayuh karena terlalu kencang.

Rumah Rani terlihat ramai. Nampak beberapa orang duduk-duduk diberanda rumahnya. Dan ada mobil bagus parkir didepan rumah, entah type mobil apa, karena aku baru sekarang melihatnya. Tapi yang lebih menarik perhatianku adalah semua orang yang ada di situ terlihat perlente dandannanya, semuanya terlihat modis walau diantara mereka ada yang sudah tua tapi dandannannya terlihat keren. Sepertinya mereka orang kota. Tapi siapa? Rani tidak pernah cerita sebelumnya kepadaku? Aku kini bertanya-tanya.

Aku sengaja berhenti agak jauh dari rumah Rani, aku takut kalau nanti aku menjadi perhatian mereka seandainya aku berhenti tepat dirumah Rani dan memperhatikan mereka. Beberapa menit aku menggu, aku berharap Rani akan keluar dari rumah, jadi biar aku tidak perlu menghampiri rumahnya. Setelah beberapa lama akhirnya ada seseorang yang keluar dari dalam rumah. Lelaki muda, kira-kira seumuran denganku, Cuma dia lebih keren bila dibandingkan denganku (dari penampilanya) kalau secara tampang ya..sebelas-duabelas lah denganku, dan aku lebih unggul satu tingkat tentunya. Aku terus menatapnya yang kini berjalan keluar halaman rumah Rani. Tanpa kusadari tanganku meraepihkan rambutku yang sedikit acak-acakan akibat terkena angin tadi.

Tiba-tiba Rani mucul dari dalam rumah. Dia berjalan mengikuti pemuda yang tadi kulihat. Mereka berjalan kearahku. Aku bersiap-siap.

“Rani!” aku berteriak memanggilnya. Rani menengadahkan kepalanya yang tadi berjalan sambil menunduk. Dari mukanya dia terlihat seperti terkejut melihatku. Dia mencoba tersenyum, tapi roman mukannya yang muram tidak bisa dia sembunyikan. Kutatap muka pemuda disebelahnya, dia menatapku balik dengan tatapan heran. Kami saling pandang sejenak. Ternyata dia lebih keren bila dilihat dari dekat. Mukanya yang bersih dan kulitnya yang putih menandakan bahwa dia memang orang kota yang terawat. Kini aku menatap Rani. Dan Rani tersenyum padaku.

“Sam! Sedang apa kamu disini?” Tanya Rani terdengar basa-basi.

Sebenarnya aku berharap dia mengerti maksud kedatanganku kesini, tapi gak papalah yang jelas aku sekarang sudah ada dekat dia dan aku tinggal memberi tahunya.

“Kamu kelihatnya sedang sibuk?” aku mencoba mengerti kondisi Rani saat ini. Tapi aku tak berharap kalau dia bilang “iya dan aku tidak bisa diganggu karena aku sedang menemani teman baruku.” Aku sedikit menyesal dengan pernyataanku tadi, aku takut perkiraan ku terjadi.

Rani menatapku tajam. Sepertinya dia tidak senang dengan pernyataanku tadi.

“Tedi, maaf ya! Aku ada keperluan dulu dengan Sammy.” Pernyataan singkat Rani sepertinya difahami oleh Tedi, pemuda yang bersamanya tadi. Tedi mengerti, lalu dia pergi meningalkan kami, bergabung dengan orang-orang yang dari tadi berkumpul di beranda rumah.

Aku tersenyum. Dalam hati aku senang. Ternyata Rani masih peduli denganku. Buru-buru kutarik tangan Rani. Tanpa menunggu aku mengajaknya dia sudah duduk diboncengan sepedaku. Rani melingkarkan tangannya dipinggangku. Aku dengan semangat mengayuh sepeda, meninggalkan debu yang kini bertebaran tersapu angin, akibat gilasan ban sepeda.

Kami tiba disebuah sungai kecil. Letaknya tidak begitu jauh dari rumah Rani. Mungkin hanya dua kilo dari rumah Rani, dan kalau ditempuh dengan mengunakan sepeda hanya membutuhkan waktu kurang lebih seperempat jam. Jarak tempuh yang menurut kami tidak terlalu jauh bila dibandingkan bila kami pergi ketempat sekolah, yang berjarak kira-kira hampir 10 kilo meter dari rumahku.

Akhirnya kami sampai ketempat yang kami tuju. Sungai dengan ukuran yang tidak begitu luas kalau sedang musim kemarau seperti saat ini, tapi airnya yang jernih tidak pernah kering. Seperti memiliki mata air yang cukup besar, air disungai ini tetap dapat memproduksi air, yang banyak digunakan warga disini untuk mengairi sawahnya. Kini Rani Berlari mendahuluiku. Seperti biasa dia akan mencelupkan kakinya sambil menciprat-cipratkan air keudara. Kebiasaan yang selalu dia lakukan setiap kami kesungai ini. Aku kini berdiri tepat dibelakangnya. Memperhatikan seorang gadis yang dulu masih kecil, yang dulu sering bermain disungai ini bersama, bernang disungai ini bersama kini telah beranjak remaja. Tak terasa waktu telah mempertahankan pertemanan kami hingga kini. Tapi aku sedih karena sebentar lagi aku akan meninggalkanya. Meninggalkanya sendiri, bermain air disungai ini. Kutatap lekat-lekat Rani. Mendadak ada perasaan tak tega bila aku harus mengatakan kalau aku akan meninggalkanya. Rani menoleh, dengan tangannya masih menciprat-cipratkan air keudara. Ku lihat tatapan mata bening yang terlihat begitu bahagia. Itulah kehebatan sungai ini. Bisa membuat kami selalu senang dan bahagia bila kami ada disini. Makanya sungai ini menjadi tempat faforit kami untuk setiap saat kami kunjungi.

Kini aku melangkah mendekati Rani dan duduk disebelahnya. Diatas batu tempat biasa kami duduk berlama-lama menatap aliran sungai yang tidak ada hentinya mengambarkan motif dan corak abstrak tapi indah dihadapan kami dan yang jelas tidak membuat kami bosan menatapnya.

Aku mengikuti gerakan-gerakan Rani. Mencipratkan air keudara. Rani menatapku dengan senyumnya yang lebar. Sepertinya dia senang melihat yang sedang aku lakukan. Kini Rani tertawa renyah, seperti sedang mencoba melepaskan segala beban yang ada.

“Sam, seandainya hidup bisa seperti ini selamanya. Mungkin aku akan menjadi orang yang paling bahagia didunia ini.”

“Kenapa?”

“Coba kamu rasakan. Disini terasa…. damai… indah…dan segar….” ucap Rani sambil menengadah dan merentangkan kedua tanganya. Dia menghirup udara dalam-dalam. Benar kata Rani. Suara gemericik air dan hembusan angin dari sela-sela daun pohon ditepi sungai menimbulakn kesan damai. Dan sinar matahari yang dipantulkan membiaskan warna indah dipermukaaan sungai. Aku mencoba menikmati itu semua. Ku hirup udara dalam-dalam.

“Ran!” aku mencoba memecahkan keheningan.

Rani menghentikan aktifitasnya. Dan dia meliriku sejenak. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mencoba mengatur nafasku. Entah kenapa jantungku berdebar sangat cepat. Sekali lagi aku menarik nafas dalam-dalam. Kini Rani menatapku. Aku mencoba memberanikan diri membalas tatapannya, walau dalam hati aku takut melihat bola mata Rani yang saat itu terlihat seperti ingin menusuk hati dan mengorek-korek isi hatiku. Lagi-lagi aku menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri.

Kini tatapna Rani berubah, menjadi lebih teduh dengan sinar matanya yang bening membuatku sedikit tenang.

“Bicaralah Sam, kalau memang ada yang perlu kamu bicarakan, aku akan siap mendengarkanya.” Kata Rani seperti mengerti dengan apa yang aku rasakan.

“Aku lulus Ran!” jawabku terbata. Tatapan Rani kini berubah. Lebih berbinar. Walau aku tau itu bukan suatu kabar yang mengejut kan baginya. Tapi sepertinya dia tau apa yang harus dia lakukan. Setidak-tidaknya dia bereaksi seperti orang yang terkejut. Yang membuat orang, khususnya aku pasti akan merasa senang bila mendapat reaksi seperti itu.

“Selamat ya Sam!” ucap Rani singkat. Dan itu yang tidak aku harapkan. Ucapan pasif. Karena aku harus mencari pernyataan baru untuk membangun pertanyaan baru yang susah aku utarakan. Aku menunduk, mencoba membangun keberanian untuk mengutarakan maksudku.

“Terima kasih!” jawabku perlahan. Entah sudah berapa kali aku menarik nafas dalam-dalam. Karena sekali lagi aku menarik nafas dalam.

“Aku akan ke kota.” Waktu hening sejenak. Rani belum merespon pernyataanku. Tapi kini dia menghentikan aktifitasnya. Dia diam.

“Kapan?” Tanya Rani sambil menoleh kearahku. Aku menatap matanya.

“Mungkin besok.” Karena aku berharap besok aku tidak akan berpisah dengannya.

“Berapa lama?”

“Sampai lulus, tapi aku akan sering pulang.”

“Seberapa sering?”

“Sebulan sekali…atau bahkan seminggu sekali.”

“Memang kamu bisa?”

“Aku usahakan.”

Rani berdiri. Akupun berdiri dihadapanya. Tiba-tiba Rani memelukku. Tanganya melingkar erat di punggungku, seolah-olah tidak ingin lepas. Bahkan akupun dapat merasakan detak jantungnya. Aku mengelus rambutnya yang panjang terurai. Mencoba membuat dia nyaman.

Suara air berbaur dengan suara dedaunan yang digoyangkan angin membawa kami kedalam buaian alam yang terasa menyakitkan. Membuat aku serasa enggan untuk mengakhiri hari ini. Ku peluk erat-erat gadis dalam dekapanku. Aku tak ingin untuk melepaskanya walau untuk sejenak.

Matahari yang kini makin condong kebarat membiaskan warna putih berubah menjadi jingga. Segerombolan burung terbang melintas diatas kami. Suaranya yang riuh menyadarkan kami.

“Tunggu aku.” Aku berbisik.

“Aku akan selalu menunggumu.” Rani berkata dengan lirih dengan masih kepalanya dia sandarkan didadaku. Aku mengeratkan pelukakanku padanya.

Hari perpisahan itu membuat aku selalu ingat dengan janjiku. Kepada Rani yang kini selalu sabar menanti kedatangan ku dengan setia. Entah sudah berapa kali aku pulang kedesa semenjak empat tahun lalu aku meninggalkannya untuk menuntut ilmu disana. Semuanya seperti berjalan dengan lancar. Dan semua janjiku terpenuhi untuk memenuhi keinginan emak agar aku sering pulang untuk menjenguknya.

Setengah tahun lagi aku lulus. Aku tinggal menyelesaikan skripsiku. Setelah itu aku bebas menentukan hidupku.

“Mak! Sam mau keluar dulu?” aku berpamitan kepada emak ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan emak di beranda rumah. Emak yang tadi sedang menyapu halaman menghentikan menyapunya. Dengan terlihat lelah emak menyeka keringat yang membasahi keningnya.

“Kamu mau kemana?”

“Kerumah Rani.”

“Hati-hati! Jangan terlalu sore pulangnya.” Kata emak sambil melanjutkan menyapunya. Dengan sebelumnya aku mencium tangan emak, berpamitan.

Baru tadi malam aku pulang. Itupun sempat menggangu kedua orang tua ku yang sudah tidur. Padahal waktu itu baru pukul delapan malam, Cuma mungkin karena mereka tadi siang sudah capek kerja karena memang kebetulan sedang musim panen didesa kami. Biasanya aku pulang waktu pagi hari dan sampai dirumah sore. Karena kebetulan kemarin aku tidak ada mata kuliah dan yang jelas aku mendadak ingin pulang karena kangen rumah dan Rini tentunya, jadi aku rencanakan pulang lebih awal satu hari. Dan sesampainya dirumah kepulanganku menjadi pertanyaan orang rumah, karena tidak seperti biasanya aku pulang lebih awal. Dan aku jelaskan itu tidak apa-apa, Cuma kangen ingin cepat pulang saja. Alasan yang membuat ibu tenang dan tentunya senang mendengar alasanku.

Dari luar pagar, rumah Rani terlihat sepi. Aku yang tadi menghentikan sepedahku tepat di depan pintu pagar celingukan. Siapa tau Rani tiba-tiba muncul lalu menyambutku. Aku mulai berangan-angan atau lebih tepatnya berharap. Suasana Rumah Rani masih terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan disana. Apa mungkin mereka sedang tidak ada di rumah, atau mungkin sedang tidur, tapi tidak mungkin inikan masih terlalu pagi untuk standar orang untuk tidur siang, atau barang kali mereka pergi kesawah semua. Bisa jadi? Aku berasumsi sendiri. Kalau dulu aku sering membunyikan bel sepedaku untuk memangil Rani keluar dari rumah, tapi sekarang kalau aku melakukan itu sepertinya sudah tidak etis lagi. Akukan sekarang sudah menjadi mahasiswa yang tentunya harus lebih beretika. Aku melangkah memasuki halaman rumah Rani.

Ternyata rumah Rani benar-benar kosong. Karena tadi setelah aku mencoba mengetuk dan memanggil-manggil tak satu orangpun menyahut atau membukakan pintu. Berarti mereka tidak ada dirumah, tetapi sepertinya mereka tidak sedang melakukan berpergian jauh karena rumah tidak dalam keadaan terkunci. Mungkin mereka sedang pergi kerumah tetangga.

‘Rani kemana ya?’ aku mulai bertanya-tanya. ‘oh ya! Pasti dia ada di tempat biasa.’ Tanpa menunggu lama kusambar sepeda yang tadi kusandarkan dipagar dan dengan semangat ku kayuh sepedaku meninggalkan rumah Rani.

Suara gemericik air terdengar sangat riuh. Terdengar seperti suara ratusan anak ayam. Suara daun yang tertiup angin menambah suasana terdengar makin semarak. Di atas batu yang nampak basah tak terlihat Rani disana. Dibatu besar di tepi sungai tempat aku dan Rani biasa duduk diatasnya. Kulemparkan pandanganku kesepanjang sungai. Menelusuri bebatuan yang banyak berserakan dengan berbagai ukuran dari yang berupa kerikil sampai dengan yang sebesar kebo ada disana, tapi Rani tidak tetap tak nampak.

Matahari yang mulai naik memancarkan kehangatan yang disambut pucuk-pucuk daun yang masih sedikit basah oleh sisa-sisa embun. Aku berdiri dibawah pohon besar ditepi sungai. Angin yang bertiup sepoi-sepoi disela-sela daun menimbulkan suara seperti orang yang sedang berbisik.

“Sam!” tiba-tiba terdengar suara orang memangil namaku. Aku menoleh kearah asal suara. Sedikit silau dan terlihat samar orang yang kini telah berdiri dihadapanku. Ternyata Rani. Dengan tatapan heran Rani melangkah mendekat.

“Sedang apa kamu Sam?” Tanya Rani setelah dekat. Aku tersenyum. Ternyata benar perkiraanku, pasti dia kesini. Aku tidak cepet-cepat menjawab melainkan aku terus menatapnya. Karena memang aku sangat kangen dan ingin melihat dia belakangan hari ini. Entah kenapa? Yang jelas mendadak aku sangat rindu ingin bertemu dangan Rani. Rani terlihat salah tingkah, semua gerakanya terlihat canggung.

“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tanya Rani tersipu dengan masih terlihat salah tingkah.

“Kenapa? Gak boleh kalau aku kangen sama kamu.” Aku mencoba mengoda.

Rona muka rani mendadak berubah. Memerah. Terlihat kalau dia malu. Sambil menunduk dia menyembunyikan sedikit senyumnya yang masih nampak jelas olehku. Aku tersenyum.

“Kamu dari mana?”

“Dari sana?”

“Kemana?” tanyaku penasaran. Ingin tau tujuan pasti kemana tadi Rani pergi.

“Kehulu.”

“Kenapa?”

Rani tidak buru-buru menjawab. Dia terlihat menarik nafas dalam, sambil tatapanya sekarang dia lempar kearah tadi dia menunjuk. Daerah hulu. Tempat yang sebelumnya jarang kami kunjungi. Dan entah ada apa disana yang membuat Rani kesana.

Rani mengeleng. Dia mencoba tersenyum, tapi aku masih sempat menagkap sedikit rasa getir yang Rani tinggalkan disedikit senyumnya. Apa yang terjadi semenjak aku meninggalkanya? Kini aku bertanya-tanya. Aku mencoba menebak-nebak apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Rani memecah keheningan.

“Kapan kamu pulang”

Aku terkejut dengan pertanyaan Rani. Bukanya dia seharusnya senang dengan kedatanganku, tapi kenapa dia malah bertanya kapan aku pulang. Bukanya aku baru sampai? Jadi benar perkiraanku, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Rani. Aku menatap Rani dengan perasaan tidak mengerti. Rani terlihat binggung ketika aku menatapnya seperti itu.

“Ma..af!” kata rani terbata.

“Maksudku bukan kapan kamu pulang kekota lagi tapi kapan kamu pulang dari kotanya.” Jelas Rani. Sepertinya dia tau dengan apa yang aku pikirkan tadi. Ternyata aku salah. Aku menarik nafas lega, ternyata perkiraanku salah.

“Tadi malam.”

“Bagaimana kuliahmu, lancar?”

“Ya…lumayan!” jawabku sambil nyengir. Karena kalau aku bilang lancar aku kira tak selancar itu untuk hari-hari belakangan ini. Terlalu banyak hambatan yang harus aku tempuh, apalagi untuk mencari bahan-bahan untuk menulis skripsiku.

“Bagaimana dengan bukumu, sudah selesai?” Tanya Rani lagi.

“Sedikit lagi.” Kini aku tersenyum kecut. Aku jadi teringat proyek tulisanku. Sampai sekarang belum kelar juga. sebenarnya aku hobi menulis sejak masih dibangku sekolah. Bahkan aku sempat beberapa kali menjadi pemenang disetiap lomba tulis yang pernah diadakan disekolahku dulu. Dari awal hobiku itu aku jadi tertantang untuk mencoba menulis sesuatu yang lebih berat dan berani dibandingkan tema tulisanku sebelumnya, yaitu sekitar cerita fiksi seperti cerpen, puisi dan naskah-naskah pendek untuk mengisi acara drama radio sekolah. Dan dari sebagian kecil dari karyaku bahkan sudah ada yang di muat dikoran, walau hanya beberapa tapi itu menambah semangatku untuk mencoba membuat buku. Bukan kumcer ataupun novel. Melainkan sebuah buku yang membahas masalah realita hidup yang sekarang sedang in di masyarakat khususnya masyarakat kota yang banyak orang menganut gaya hidup pop. Cara hidup hedoisme dan sekulerisme yang sekarang sedang tren dikalangn penduduk kota. Dan itu yang memicu aku tertarik untuk menulis realita hidup yang menurutku itu perlu ada pembahasannya dan tentunya penyelesaiannya. Sekalian itung-itung aku belajar menerapkan ilmu yang aku dapatkan dari kuliahku. Dibidang jurnalis.

Satu hari ini aku habiskan waktuku dengan Rani. Dari pagi sampai sore. Tidak banyak yang kita lakukan, hanya ngobrol, main air, diam (menikmati suasana).

Langit berwarna biru dengan sedikit awan tipis terpampang didepanku. Semilir angin menyapu mukaku. Mempermainkan anak rambutku. Mengelitik keningku. Kuhempaskan tubuhku diatas rerumputan yang tadi pagi masih basah oleh embun tapi kini telah kering. Rani berbaring disebelahku. Tatapannya lurus, seperti ingin menembus langit yang kini terlihat cerah. Aku menoleh menatap muka Rani. Merasa dirinya diperhatikan, Rani menatap balik kearahku. Kutatap bola matanya yang bening, kami saling bertatapan, Nampak begitu banyak harapan kutemukan disana. Di dalam mata yang setiap hari selalu ingin aku menatapnya.

Ku pegang tangan Rani. Terasa hangat dan damai. Kuremas tangan lembutnya. Dia membalas. Kami saling bertatapan. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulat kami. Hanya mata kami yang saling berbicara. Mencoba memahami semua rasa yang ada didalam hati kita masing-masing. Seperti tau dengan apa yang harus kami lakukan. Kami membiarkan hasrat kami membawa kami kealam yang kini terasa indah. Serasa dunia hanya milik kita, lengkap dengan beribu keindahan didalamnya dan serasa ingin kurengkuh semua kenikmatan dan keindahan itu kedalam tanganku.

Tak terasa langit yang tadi terlihat biru kini berubah menjadi semburat warna jingga dengan menyisakan sebersit warna putih di ufuk timur. Dengan meninggalkan begitu banyak kenangan bagiku.

******

Satu tahun telah berlalu. Tak terasa waktu seperti begitu cepat berlalu. Kini aku sudah bekerja. Mencoba menjadi orang yang sukses dengan mencoba keberuntunganku dikota besar ini. Jakarta!

Bekerja sebagai redaktur disebuah penerbit majalah terkenal ibukota, membuatku senang. Karena itu salah satu cita-citaku dari dulu, dan itu yang membuat aku dulu memilih kuliah dijurusan jurnalis. Karena memang sejak kecil aku senag sekali mengumpulkan arikel-artikel apapun itu. Semuanya aku rangkum menjadi sebuah kliping. Menurut ku itu sangat menyenangkan. Dan sampai sekarang semua koleksi klipingku masih kusimpan dengan rapi di rumah.

“Sam! kamu dipanggil sama bos tuh.” Doni membuyarkan lamunanku. Doni menatapku dengan pandangan aneh. Aku tersenyum menyaksikan mimic Doni seperti itu. Dia terlihat seperti orang bodoh. Kaca matanya yang tebal nampak melorot, mungkin karena keberatan lensanya yang seperti pantat botol.

“Kamu kenapa Sam? Dari tadi aku lihat, kamu terlihat cengar-cengir sendiri. Lagi mikir jorok ya?” tuduh Doni sambil dia duduk diatas meja kerjaku. Dia masih menatapku dengan heran.

“Mau tau saja.” Ucapku sambil berlalu. Meniggalkan Doni sendiri. Membiarkan dia berasumsi tentang tingkahku tadi. Mungkin nanti dia akan bertanya lagi, karena memang dia orangnya selalu penasaran bila ada sesuatu yang belum dia ketahui dan ingin dia ketahui.

Doni. Dia anak baru disini, walau sebenarnya akupun anak baru disini tapi Doni baru masuk minggu yang lalu. Aku bekerja disini kira-kira setahun yang lalu, pas aku baru lulus kuliah. Dan itupun aku ditawari langsung oleh Mas Rudi, pemilik perusahaan tempat aku kerja saat ini. Alasanya dulu dia tertarik dengan buku yang ku buat yang kebetulan waktu itu baru diterbitkan. Dia tertarik dengan tema yang aku angkat waktu itu. Dengan alasan itulah Mas Rudi mengajakku bergabung dI perusahaannya, yang kebetulan kami satu misi. Peduli dengan kondisi social masyarakat kita, khususnya. Yang saat ini, kami menilainya masyarakat kita ……………………….

“Selamat pagi pak?” sapaku kepada Mas Rudi, yang sepertinya dia sengaja sedang menungguku. Dengan tersenyum dia menyuruhku duduk. Hal yang jarang aku lihat dari Mas Rudi. Dia tersenyum. Karena memang kesehariannya dia terlihat jarang tersenyum. Bahkan karena kebiasaannya itu dia sering disebut oleh bawahannya dengan sebutan “si muka datar”. Tapi walau dia jarang tersenyum bukan berarti dia orangnya pemarah. Walau dalam kondisi apapun dia tidak pernah marah. Dan selama aku kerja disini pun aku belum pernah sekalipun melihatnya marah. Entah apa alasanya?. Pernah pada suatu waktu, anak buahnya melakukan kesalahan. Kesalahan yang sangat fatal untuk perusahaan waktu itu. Dia tidak memarahi karyawannya itu, tapi dia langsung memecatnya. Tanpa harus marah, membuang energy katanya. Itulah mas Rudi, walau orangnya pendiam tapi dia tegas, untuk itu aku salut padanya, seperti mottonya ‘sedikit bicara, banyak bekerja’

Diruangan Mas Rudi terasa dingin sekali. Berbeda dengan diruangan kami, walau sama-sama ber AC tapi sepertinya Mas Rudi menyetel AC diruangannya dengan suhu yang lebih rendah dari pada di ruangan kami. Entah kenapa? Gak kuat panas mungkin dia? Atau mungkin gara-gara ini juga dia seperti itu, menjadi orang yang dingin seperti dinginnya ruangan ini. Tapi gak mungkin lah? Masak gara-gara ruangan yang dingin membentuk mental seseorang juga menjadi dingin. Dan belum ada pembuktian untuk alasan seperti itu hingga kini dan aku kira memang tidak perlu ada pembuktiannya.

“Bagaimana?” Tanya Mas Rudi singkat. Yang membuat ku binggung harus menjawab apa atas pertanyanyaanya yang ku tak tau maksudnya.

“Maksud Mas Rudi?”

Mas Rudi tersenyum. Dia tersenyum kembali. Sudah dua kali untuk hari ini aku melihat Mas Rudi tersenyum. Ada apa gerangan? Apa mungkin sekarang Mas Rudi mulai berubah, menjadi orang yang murah senyum? Mas Rudi kini menatapku lekat-lekat. Seperti ada yang ingin dia perjelas dengan tatapannya padaku, dia mencondongkan badanya kedepan. Makin mendekat kearah ku.

“Sebenarnya apa sih yang terlihat special darimu?” aku makin tak mengerti dari semua tujuan pertanyaannya.

“Maksud Mas Rudi?” sekali lagi aku memastikan.

“Bagai mana kabarmu?” kini Mas Rudi memperjelas pertanyaannya. Tapi makin tak jelas apa maksud dan tujuannya. Karena tak biasanya dia berbasa-basi seperti ini. Apa lagi dengan menanyakan kabarku, yang jelas-jelas aku terlihat baik-baik saja. Dan itu membuatku merasa sedikit khawatir. Jangan-jangan dia ingin memecatku. Tapi atas alasan apa? Perasaan, aku tidak melakukan kesalahan apapun, dalam waktu dekat ini tentunya?. Atau ada sesuatu yang terjadi dengan perusahaan ini hingga menuntut perusahaan untuk mengurangi karyawannya barangkali? Tapi kenapa harus aku yang dipilih? Bukannya aku telah memberi kontribusi yang cukup lumayan bagus terhadap perusahaan ini. Kata Mas Rudi waktu itu. Tapi kenapa?

Mas Rudi menunggu. Dia menatapku. Aku berhenti bersepekulasi dengan pikiranku sendiri.

“Baik Mas.” Aku mencoba mempersingkat jawabanku, biar aku cepat tau apa maksud dari pertanyaannya tadi.

“Syukur lah kalau begitu.”

Aku menunggu lanjutannya. Tapi Mas Rudi tetap diam. JUST IT? Sesimple itukah jawabannya, setelah tadi aku benar-benar menguras pikiranku untuk menebak semuannya. COME ON?

Mas Rudi menarik nafas.

“Bagaimana dengan bukumu, sudah beres?” Tanya Mas Rudi, hal yang tak kusangka kalau pertanyaan itu yang keluar selanjutnya. Khususnya untuk saat ini. Karena menurutku pertanyaanya barusan tidak ada hubungannya dengan misteri pertanyaanya tadi. Tapi! Mungkin ini tujuan sebenarnya dari pernyataannya tadi, Cuma tadi aku terlalu cepat mengambil kesimpulan saja. Mungkin!

“Belum Mas.” Aku mencoba sekali lagi menyingkat jawabanku. Aku ingin cepat sampai klimaks. Aku ingin tau inti, apa maksud dari semuanya.

“Kenapa kamu kelihatan binggung?” sepertinya Mas Rudi tau apa yang sedang aku pikirkan. Aku mencoba sedikit tersenyum, mencoba menghilangkan sedikit ekspresi binggungku yang tadi mungin terlihat jelas oleh Mas Rudi.

“Maaf, kalau pertanyaanku tadi membuatmu binggung, tapi sebenarnya aku Cuma mau tau saja masalah perkembangan buku yang kamu tulis sekarang. Gak lebih?” jelas Mas Rudi yang membuatku sedikit laga. Oh ternyata tak seperti dugaanku.

Memang sebelumnya aku pernah cerita tentang masalah aku membuat buku baru, kepada Mas Rudi. Yaitu buku kedua dari buku yang waktu itu Mas Rudi pernah baca. Dan waktu itu bukan karena aku sengaja memberitahunya tapi karena waktu itu Mas Rudi bertanya tentang rencanaku kapan membuat buku kedua. Karena aku tidak mau berbohong, aku ceritakan semuanya tentang rencanaku untuk membuat buku kedua. Dan waktu itu Mas Rudi belum tau tema apa yang aku coba angkat.

“Memang sudah sejauh mana?”

“Tinggal sepertiganya lagi, Cuma tinggal mencari data-data dari lapangan saja dan analisa terhadap masalah itu saja.” Jelasku.

“Memang tema apa yang kau angkat kali ini?”

“Masih sama dengan yang dulu, masalah social! Tapi kini saya mencoba lebih focus pada golongan masyrakat tertentu yang disini posisinya menjadi kaum minoritas yang sedikit tertindas.” Aku memberi tanda kutip dua jari pada kata tertindas.

“Memang masalah itu sedang ngetren saat ini?” Tanya Mas Rudi terdengar sedikit sangsi dengan tema yang aku angkat sekarang. Aku tersenyum. Aku mengerti maksud atas kesangsianya. Mungkin dia berasumsi kalau aku mengangkat sesuatu yang sedang tidak tren dimasyarakat hasilnya pasti tidak akan memuaskan, karena kalau dilihat secara reting, nanti retingnya akan rendah, karena kurang peminat bila dibandingkan dengan buku pertamaku yang menjadi best seller disemua toko buku. Tapi itu bukan masalah bagiku. Yang kucari disini bukan hanya sekedar dari nilai komersilnya, melainkan nilai moral yang ingin aku sampaikan. Aku ingin semua orang mengerti dan bisa memahami apa yang ingin aku sampaikan nantinya. Walau terlihat idealis, tapi itulah tujuanku sebenarnya ketika aku putuskan untuk menulis sebuah buku.

Aku mengangkat bahu.

“Bukan tren yang ingin saya angkat disini.” Aku sedikit merendahkan nada suaraku. Aku tidak ingin membuat Mas Rudi berfikir kalau aku terlalu idealis dan sombong atas pernyataanku tadi.

“Kamu yakin dengan apa yang akan kamu tulis?”

“Aku mencoba maksimal mas, untuk itu aku harus mencari-cari data pendukung biar hasilnya nanti tidak mengecewakan.”

“Memang data apa yang kamu perlukan?”

“Data dari lapangan mas.”

“Kenapa kamu gak coba surfei saja.”

“Mau! Tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Kalau sudah ketemu baru saya mulai.”

“Kalu bisa secepatnya.”

“Memang kenapa mas? Apakah itu menggangu hasil kerjaan saya disini?”

“Enggak! Soalnya saya punya rencana untuk itu.”

“Maksud mas?” aku kini gak ngerti dengan perkataan Mas Rudi. Dari tadi sepertinya dia selalu membuat ku binggung. Suka main petak umpet rupanya mas Rudi ini.

“Enggak! Cuma yang saya minta, kamu bisa menyelesaikan itu secepatnya, bahkan kalau bisa dalam bulan ini semuanya bisa beres.” Mas Rudi menbarkan senyum penuh misterinya lagi. Apa sih maksudnya? Aku makin binggung.

*****

Pertemuanku hari ini dengan Mas Rudi membuatku tak tenang. Aku merasa tidak enak denga itu semua, khususnya dengan apa yang aku lakukan sekarang. Membuat buku ini memang diluar pekerjaanku di kantor, tapi itukan dulu sudah menjadi pesetujuan kami. Antara aku dan Mas Rudi. Aku bebas berkarya diluar pekerjaanku, selama itu tidak menganggu pekerjaan utama ku sebagai redaktur di perusahaan Mas Rudi. Dan untuk saat ini aku rasa aku tidak melanggar perjanjian itu. Tapi kenapa Mas Rudi bilang seperti itu tadi? Apa maksudnya? Aku mendadak pusing. Ini benar-benar pusing. Kupegang kepalaku yang terasa berat. Kenapa aku ini? Mungkin aku masuk angin karena memang semenjak aku tadi pulang dari kantor belum secuil makanpun aku sempatkan masuk kedalam perutku. Karena terlalu memikirkan perkataan mas Rudi yang penuh misteri tadi siang.

“Sem! Loe kenapa? Sakit loe?” Boby yang baru masuk rumah buru-buru mendekatiku. Dia memegang pundakku. Boby, teman satu kostanku. Dia sangat baik padaku. Kami seperti saudara, walau sebenarnya aku kenal dengannya pun baru satu tahun yang lalu, ketika aku sedang mencari kontrakan disini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan dia. Yang waktu itu kami sama-sama sedang mecari kostan, dan kebetulan satu kamar kosong yang ada baru saja terisi oleh Boby. Jadi aku telat datang ke kost an ini. Dan waktu itu hari sudah gelap. Entah karena kasihan atau gak tega melihat aku yang waktu itu terlihat seperti orang baru dan gak tau seluk-beluk kota Jakarta, dia menawarkanku untuk berbagi kamar dengannya. Dan itu langsung aku setujui, karena memang aku sudah merasa capek, bila harus mencari kost an lain, yang sejak dari tadi siang aku keliling kedaerah ini untuk mencari tempat kost yang kebetulan penuh semua. Dan daripada aku harus pusing mencari, lebih baik aku menerima tawaran Boby waktu itu. Ternyata aku tidak salah menerima tawaran Boby, karena selain orangnya baik dia anaknya enak diajak bicara, apapun itu.

“Gak tau, kepalaku mendadak pusing.” Aku masih memegang kepalaku yang masih terasa berat.

“Bentar, gua punya obat buat loe.” Dengan dengan perlahan dia membimbingku duduk diatas kursi kerjaku. Kebetulan itu adalah tempat yang terdekat dariku. Lalu Boby meninggalkanku. Sepertinya dia mengambil obat. Kini dia sudah berada disampingku, dengan obat dan segelas air putih yang dia sodorkan padaku.

“Coba loe minum ini.”

Aku buru-buru mengambil obat dari tangan Boby dan kuminum dengan cepat. Karena aku memang sudah tidak tahan dengan sakit kepala yang aku rasakan ini. Serasa mau memecahkan kepalaku saja.

Aku menarik nafas perlahan. Rasa sakit kini mulai berkurang. Boby masih berdiri disampingku. Dia menatapku, sepetinya dia khawatir dengan keadaanku. Karena memang baru sekarang ini aku mengallami hal seperti tadi, jadi wajar kalau dia sampai menghawatirkanku. Seandainya itu terjadi pada Boby, mungkin akupun akan melakukan hal yang sama.

“Gimana? Agak baikan?”

“Lumayan, sakitnya agak sedikit berkurang.”

“Loe sudah makan?”

“Belum.”

“Mungkin kamu tadi masuk angin karena belum makan.”

“Mungkin.”

“Ini aku bawa makanan.” Boby menyodorkan benda dalam plastic putih. Didalamnya ada sebuah kotak dengan ukuran tidak terlalu besar. Dan sepertinya benda yang ada didalamnya masih hangat, karena masih terlihat asap tipis mengepul keluar dari kantung plastic yang kini ada diatas meja kerjaku, tepatnya didepanku. Aku mengamati benda yang ada didepanku. Kantung plastic yang tersingkap sedikit memaparkan apa yang ada didalamnya. Ada kotak putih bertuliskan merek suatu produk. “Martabak telor terang bulan” oh ternyata makanan kesukaan Boby.

Kini boby membuka kantung plastic yang membungkus kardus yang berisi martabak itu.

“Memang kamu sudah gajihan Bob?”aku bertanya, memastikan! Karena baru kemarin dia mengeluh kalau dia sedang tidak punya uang. Jadi kalau dia bisa beli makanan ini uang dari mana? karena aku tidak mau kalau dia terlalu memaksakan sampai pinjam kepada orang lain, padahal aku masih punya sedikit simpanan sisa royalty bukuku yang hingga kini masih mengalir. Aku mau dia bilang padaku kalau memang dia membutuhkan uang, karena walau sedikit mungkin aku bisa membantu.

“Belum.” Jawab Boby lirih, dengan melemparkan senyum padaku.

“Lalu kamu dapat uang dari mana?”

“Kebetulan aku tadi ada proyek kecil, ya… lumayan lah hasilnya bisa buat beli ini.” Dia membuka kardus warna putih dihadapanku. Asap putih keluar dari dalam dus, menebarkan aroma yang membuatku sadar kalau dari tadi aku belum makan apa-apa. Tiba-tiba rasa lapar itu datang menyerang perutku, dan martabak telur yang ada dihadapanku seperti melambai-lambai memanggilku.

“Padahal lebih baik kamu tabung uang itu, atau kalau tidak kamu gunakan untuk keperluanmu sendiri saja, biarlah kalau untuk masalah makan sedikit-sedikit dari aku juga ada.”

“Sudahlah, loe makan aja ini, lagipula ini kan gak tiap hari gua belinya.” Kata Boby sambil melahap satu potong martabak langsung. Dengan mulutnya yang penuh dengan martabak, dia mencoba tersenyum sambil menyodorkan bungkusan itu kedekatku. Mukanya terlihat lucu, seperti badut.

Aku yang memang sudah merasa lapar, langsung saja ikut melahap martabak telur yang mendadak terasa sangat enak. Entah karena martabaknya yang enak atau mungkin karena aku sedang lapar. Tapi yang jelas kurang dari sepuluh menit martabak yang ada dihadapanku itu ludes, bersih, tak tersisa sedikitpun, Cuma sedikit acar itupun hanya cabe yang tersisa.

“Loe tadi kenapa? Belum pernah gua ngeliat loe seperti itu? Lagi ada masalah ditempat kerja loe?” Tanya Boby sambil menyeka bibirnya yang penuh dengan minyak sisa martabak.

“Iya nih, aku lagi ada masalah.”

“Masalah apa?kerjaan?”

“Entah lah! Cuma Mas Rudi tadi bilang kalau aku harus cepat-cepat menyelesaikan proyek buku ku itu.”

“Alasanya?”

Aku mengeleng, karena akupun tak tau alasannya kenapa tadi Mas Rudi bilang seperti itu.

“Lalu, apa rencana loe?”

“Mau gak mau aku harus menyelesaikan itu secepatnya.” Aku beranjak dari dudukku. Pusing yang tadi terasa sangat menyiksaku kini sudah tak terasa. Dan bahkan aku merasa lebih segar daripada tadi. Mungkin karena barusan aku sudah makan jadi tenagaku pulih kembali. Aku menuju dapur, mengambil minum.

“Rencana loe surfei itu bagaimana? Jadi?” Boby mengikutiku dari belakang. Aku menyerahkan gelas berisi air padanya. Dengan lahap Boby meminumnya sampai habis.

“Tapi! Sebenarnya apakah sudah loe pikirkan itu matang-matang, karena menurut gua ini resikonya terlalu berat.” Suara Boby terdengar sedikit serak. Mungkin karena minyak dari martabak tadi. Tapi bukan itu masalahnya. Dari pernyataanya tadi dia seperti ragu-ragu atas keputusanku untuk surfai. Apa alsanya? Dan lagi pula kalau aku berhenti sampai disini itukan tanggung. Bukuku hanya menunggu data-data dari lapangan saja, jadi gak mungkin aku hentikan hanya karena hal yang menurutku itu bukan suatu masalah yang terlalu perlu perhatian khusus apalagi sampai menghambat projekku ini, projek yang sudah aku rencanakan sejak lama. Mungkin itu Cuma sekedar kekhawatiran Boby saja. Buktinya yang dulu aku bisa melakukannya, jadi kenapa yang ini aku harus tidak bisa, apa bedannya memang?

“Maksud kamu?” tanyaku ingin penjelasan lebih detil.

“Loe gak fikirkan dampak dari apa yang akan loe tulis nanti?”

“Aku kira dampaknya gak akan seburuk yang kamu kira, walau sebenarnya akupun gak tau apa sebenarnya yang kamu pikirkan.”

“Dan aku kira disini aku hanya mencoba ingin membantu saja, jadi kan seharusnya gak ada yang merasa harus dirugikan.” Sambungku.

“Bukan dampak kepada mereka, tapi pada loenya sendiri.”

Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti maksud dari ucapan Boby. Kalau memang buku ini sampai jadi dan bahkan laku dipasaran kan dampaknya aku dapat untung, dan itu bukan sesuatu yang perlu dikhwatirkan.

“Apa nantinya pandangan orang tentang loe?”

“Apa?” tanyaku makin tidak mengerti.

Boby meletakan gelas yang sudah kosong diatas kulkas. Lalu dia membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral dari dalam yang sengaja dia dinginkan dulu. Udara dingin keluar dari dalam kulkas. Menyebar sampai terasa dikakiku. Dingin!

“Orang lain akan menilai loe seperti mereka. Apa loe siap bila orang lain berfikir seperti itu.”

Aku mengerinyitkan dahi, sedikit mencerna ucapan Boby tadi. Aku mengerti maksud Boby sekarang. Kutatap muka Boby yang sejak obrolan kami tadi, mukanya terlihat kaku. Datar dan dingin. Dia membalas tatapanku dengan pandangan menunggu. Aku tersenyum. Mencoba mencairkan suasana. Kutarik nafas dalam-dalam. Menenagkan urat sarafku yang tadi terasa tegang. Ternyata itu maksud Boby? Aku mendekatinya. Kutepuk pundaknya yang tegap. Karena dia rajin ke Gym jadi badannya lumayan tegap dan berisi. Kini aku berdiri berdampingan dengannya. Aku menoleh, menatapnya. Aku ingin memastikan apakah muka Boby masih seperti tadi. Datar dan kaku. Ternyata masih! Dan kini diamemandang lurus kedepan. Seperti ingin menembus tembok.

“Aku tau maksudmu.”

“So?” kata Boby sambil kini menatapku.

“Aku kira orang-orang kita sudah pintar untuk membedakan itu semua.”

“Tapikan gak semua orang berpikir kearah situ, contohnya aku waktu itu. Aku sempat berfikir kesitu.”

“Sekarang bagaimana?”

“Ya..sekarang gua percaya kalau loe gak seperti itu, Cuma itukan setelah ada proses. Gua udah kenal sama loe selama satu tahun. Jadi gua tau loe! Tapi orang lain gimana? Mereka kan tau loe Cuma dari karya loe doang. Pasti mereka berfikirnya tidak jauh dari apa yang pernah gua pikir sebelumnya tentang loe.”

Aku tersenyum mendengar penjelasan Boby. Sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Sesuatu yang seoelah-olah itu akan jadi masalah dikemudian hari, menurut Boby.

“Loe mau! Orang lain mengangap loe GAY!” sambung Boby dengan suara keras tapi sedikit tersendat. Aku kini benar-benar menatap muka Boby dan dia membalas menatapku dengan tajam.

“Aku kira semua orang tak senaif itu. Dan seandainya itu terjadi aku tidak peduli.”

“Sekarang loe tidak peduli! Karena loe belum merasakannya.”

“Aku usahakan sampai nanti.”

Pembicaraan kami berhenti sampai disitu, karena kini Boby meninggalkanku. Dia masuk kedalam kamar, lalu keluar dengan membawa handuk. Dia masuk kamar mandi dengan tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku keluar dari dapur, menuju meja kerjaku. Laptop warna abu-abu yang baru aku beli beberapa bulan lalu, mengantikan laptop lamaku kini terpampang didepanku. Cahaya yang keluar dari laptopku membias keseluruh ruangan mengalahkan cahaya lampu neon yang redup.

Kini jemariku sudah menari-nari diatas keyboard. Menyelesaikan data-data yang kemarin aku peroleh dari buku dan sedikit browsing ke internet.

Tak terasa malam makin larut. Jarum jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Patas! Karena punggung dan leherku sudah terasa penat. Karena sudah hampir 5 jam aku berada di depan laptop. Kurentangkan kedua tanganku, kuluruskan tulang punggungku, mencoba menghilangkan rasa panas dipunggung dan leher. Aku melihat kedapur, sepi. Tak kulihat Boby ada disana. ya..jelaslah, karena dia mungkin sekarang sedang tidur. Menikmati mimpi-mimpi indahnya.

Suasana hening, hanya terdengar suara detik jam dinding yang teratur, seperti suara music yang telah diatur ketukan nadanya. Kupandangi layar laptop yang penuh dengan tulisan-tulisan. Sedikit lagi selesai. Kulirik beberapa lembar kertas yang tergeletak disamping laptop. Satu lembar data lagi yang perlu aku salin, tapi mendadak mataku terasa berat. Kantuk mulai menyerangku. Kututup laptop. Aku berlalu ketempat tidur.

*****

Sayup-sayup terdengar suara ribut dari luar. Setitik cahaya tepat menyinari mataku. Aku memicingkan mataku, menghindari sorotan cahaya yang keluar dari celah jendela kamar. Mataku masih terasa berat untuk aku buka. Tapi suara diluar sana membuatku tak nyaman untuk melanjutkan tidur. Hari minggu! Seharusnya aku libur, istirahat sepuasnya. Tapi kenapa ganguan selalu ada? Suara riuh dari luar masih terdengar. Tidak seperti biasanya, ada apa diluar? Biarlah!

Aku bangkit dari tempat tidur. Kulihat jam menunjukan pukul setengah tujuh. Kubuka jendela kamar. Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui jendela yang kini terbuka lebar, semilir angin menerpa mukaku. Rasa hangat dan segar menyapu seluruh tubuhku. Terasa nyaman. Ku tarik nafas dalam, mencoba menikmati kesejukan pagi yang cerah.

Matahari bersinar cukup terang. Tak ada setitik awanpun yang menghalanginya. Pagi yang cukup cerah. Aku menoleh kearah tempat tidur Boby. Tempat tidurnya sudah terlihat rapih. Mungkin dia sudah pergi kerja. Tapi kenapa sepagi ini? Tak biasanya dia pergi sepagi ini. Mungkin ada urusan lain. Sekali lagi kuhirup udara pagi yang segar dalam-dalam.

“Mau kemana loe Sam?”

Aku yang sedang merapihkan rambutku menoleh kebalakang. Boby berdiri di depan pintu. Dengan tatapan sayu dia menatapku. Penampilannya agak kusut. Rambutnya yang biasanya terlihat rapi kini terlihat sedikit acak-acakan. Dari mana dia? Aku menatapnya dengan pandangan heran.

“Gak kemana-mana.”

Boby memonyongkan mulutnya sedikit. Lalu dia ngeloyor masuk dan melemparkan tubuhnya diatas tempat tidurnya. Dia membuang nafas dengan keras, bahkan aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku menatap Boby yang kini terlentang menatap langit-langit kamar.

Aku mengambil handuk bekas mandi tadi. Kugantungkan di rak jemuran dekat jendela. Udara pagi menyambut mukaku yang terasa segar. Ku keluarkan kepalaku dari dalam jendela. Tak kulihat lagi kerumunan orang-orang yang tadi pagi membuat gaduh kawasan ini. Jalan nampak lengang. Hanya sesekali nampak ibu-ibu yang lewat, sepertinya mereka pulang dari belanja di toko sebelah yang cukup lumayan besar dan lengakap. Dari perlengkapan dan kebutuhan rumah tangga sampai alat-alat bangunan tersedia disana. jadi pantas saja kalau toko itu selalu banyak pengunjungnya.

“Kamu dari mana?” tanyaku. Tidak terdengar jawaban dari Boby. Aku berpaling, menatap Boby yang masih terlentang diatas tempat tidurnya. Aku berjalan mendekat. Ternyata dia tertidur. Pantas dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku mendengus dan kutatap muka Boby yang terlihat damai, bibirnya yang tipis terkatup dengan rapat, menyiratkan rasa damai dan tenangnya dalam dia menjelajah alam mimpi. Aku jadi tak tega untuk membangunkannya. Untuk menanyakan dari mana tadi dia. Mungkin dia masih ngantuk karena tadi bangun terlalu pagi. Dan dia mungkin terlalu capek, jangankan untuk menjawab pertanyaanku untuk membuka sepatunya saja sepertinya dia tak sempat. Jadi gak papa! Lebih baik nanti saja aku menanyakan itu semua. Ku buka sepatu Boby, lalu kuletakan dirak tempat biasa Boby menyimpannya.

Tak terasa 4 jam aku telah habiskan didepan laptop, untuk membereskan proyek bukuku yang belakangan hari ini aku usahakan untuk bisa menyelesaikannya. Walau ada kalanya itu menyita banyak waktuku tapi itu tak jadi soal, karena kalau aku tak pasang target seperti ini mau sampai kapan buku ini akan kelar. Sebenarnya data yang kubutuhkan hanya tinggal 20 persennya saja, yaitu dari surfai lapangan, tapi untuk melakukan surfai itu aku harus mencari data-datanya dulu dari internet. Browsing kesetiap situs yang memuat data-data yang berhubungan dengan informasi yang kubutuhkan. Seperti saat ini, aku mencoba browsing kesalah satu situs yang begitu banyak memuat gambar-gambar khusus dewasa. Situs yang menyajikan begitu banyak pilihan gambar pria-pria tanpa busana plus dengan nilai poling peminatnya. Sebenarnya aku sedang mencari data tentang tipe pria yang seperti apa yang sebenarnya banyak dipilih oleh kaum mereka. Satu persatu halaman aku coba telusuri, mencoba mengumpulkan sebanyak-banyaknya data. Sebenarnya untuk melihat gambar-gambar seperti didepanku saat ini aku sedikit merasa risih, pertama karena memang aku belum pernah melakukan itu, menatap pria-pria bugil dengan berbagai pose dan yang kedua karena memang gak ada minat untukku tertarik melihatnya, kecuali saat ini. Aku melakukan itu karena ada tujuannya, yaitu mencari data.

Menatap gambar-gambat itu ternyata cepat membuatku penat. Leherku terasa kaku dan punggungku terasa panas. Aku mengeliat, mencoba menghilangkan semua rasa penat itu. Dan tanpa sengaja tanganku mententuh benda keras yang ada dibelakangku. Aku terkejut, karena perasaan tadi tak ada benda apa-apa dibelakangku. Aku menoleh kebelakang. Disana Boby sedang duduk menatapku dengan dagunya bertumpu pada sandaran kursi yang sengaja dia balikan posisinya. Aku yang melihat Boby menatapku jadi salah tingkah. Gak enak, takut nanti dia berfikir yang tidak-tidak.

“Oh…kamu sudah bangun rupanya!” tanyaku sedikit terkejut dan bermaksud mencoba mengalihkan perhatiannya. Aku sedikit beringsut, mencoba menutupi layar laptop dengan tubuhku. Dengan muka tanpa dosa aku mencoba tersenyum, tapi tetap saja rasa malu bercampur gak enak masih mengganguku.

“Loe sedang apa?” Tanya Boby tanpa memperdulikan tingkahku, yang menurutku aku mendadak jadi aneh sendiri.

“Oh…enggak! Cuma cari data saja.” Rasa gugupku ternyata belum juga hilang.

“Oh….!” Jawab Boby dengan sedikit melemparkan senyumnya padaku. Dan aku makin salah tingkah dibuatnya.

“Kalau seandainya loe harus memilih, loe mau pilih yang mana?” Tanya Boby.

“Milih apa?” Aku tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Boby.

“Semua orang yang ada di dalam sana?” tunjuk Boby kearah display laptop yang masih memampangkan gambar pria-pria tanpa busana. Aku mengerutkan keningku. Bukan binggung untuk memilih melainkan aku binggung dengan maksud pertanyaan Boby yang menurutku dia bertanya seperti itu tidak dalam konteks bercanda, karena dari raut muka dan tatapan matanya dia menunjukan kalau dia mencoba serius. Aku susah menjawab itu semua. Dan Boby masih menunggu jawaban dariku. Dia menatapku dengan pandangan menuntut. Lagi-lagi aku salah tingkah dibuatnya.

“Gak ada! Gak ada yang aku pilih!” dengan terbata-bata akhirnya aku putuskan untuk menjawab pertanyaan Boby.

“Aku ingin jawaban yang jujur dari loe?” ucap Boby dengan tegas. Aku makin tidak mengerti. Perasaan aku menjawab apa adanya, memang aku tidak berminat untuk memilih salah satu dari mereka. Aku menatap Boby dengan tatapan yang menuntut dia mengerti dengan ucapan ku tadi, aku bicara jujur!

“Coba loe lihat mereka sekali lagi, loe teliti, loe amati dengan serius. Dan sekali lagi gua minta loe jujur. Gak perlu malu.” Jelas Boby tegas. Dan yang jelas membuat aku merasa gak enak dengan pertanyaannya, seolah-olah dia ingin memojokanku. Mengakui apa yang sebenarnya aku tidak perlu akui. Alas an aku menulis buku ini bukan karena aku seperti itu, bukan aku ingin menyamarkan identitasku melalui tulisanku. Itu terlalu naïf bagiku dan tak mungkin aku lakukan. Tidak akan pernah! Aku tersinggung dengan secara tidak langsung tuduhan dari Boby. Mendadak aku merasa malas untuk membahas ini semua. Gak ada manfaatnya! Pikirku. Buru-buru kuarahkan krusor ke sudut layer laptop, maksudnya mau ku close program sialan ini, tapi..

“Jangan!” teriak Boby mencegahku. Aku tidak melanjutkan rencanaku untuk meng close. Kutatap Boby yang kini bereaksi sampai menarik tanganku agar tidak jadi meng close program itu. Kini aku yang dibuatnya terheran-heran. Ada apa sebenarnya dengan Boby? Tadi dia bertanya dengan hal-hal yang konyol menurutku, lalu kini dia bertingkah aneh, mencegahku untuk meng close program ini. Kenapa dia? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ku urungkan niatku. Kutarik tanganku dari atas keyboard. Dan kini Boby yang mengendalikan keyboard. Aku hanya bisa melihat yang dia lakukan.

“Sekarang loe coba lihat ini.” Boby menunjukan gambar-gambar dihadapanku satu persatu. Dari awal sampai akhir. Aku mencoba mengikuti itu dengan tanpa berkomentar apapun. Aku diam!

“Sorry! Mungkin loe agak sedikit binggung dengan maksud gua barusan, tapi yang jelas gua punya alas an yang nanti bisa loe pertimbangkan ide gua itu.”

“Tadi gua minta loe untuk jujur mengungkapkan semua, bukan untuk mengkreditasikan loe, Cuma gua mau loe mencoba memandang dan menilai sesuatu itu dari satu sudut pandang. Ok! Mungkin loe tadi tidak tertarik dengan semua gambar ini semua, pandangan secara sexualitas tentunya yang loe pake, karena gua tau kalau loe itu laki-laki normal, Cuma kenapa loe tidak mencoba menilai dari sudut pandang lain, dari segi performance seperti penampilan, bentuk tubuh atau gaya dan posenya, loe kan bisa menilai dari sudut pandang itu. Kenapa loe gak coba?” Jelas Boby yang membuatku berfikir. Kenapa tadi aku cepat mengambil kesimpulan. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah aku lakukan. Benar juga kata Boby. Kenapa aku tidak berfikir sampai kesitu?

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyaku menunggu konfirmasi berikutnya. Bukan tak tau dengan apa yang harus aku lakukan, tapi aku Cuma ingin kepastian lagi. Karena mungkin Boby sudah merubah pertanyaannya tadi. Aku sih berharap seperti itu.

“Gua ingin loe jujur.”

Kini Boby konsentrasi dengan laptop didepanku. Dia mengulirkan gambar satu persatu.

“Apa yang harus aku nilai?”

“Terserah.”

Aku mengerenyitkan dahi. Bukan binggung untuk memilih melainkan aku binggung untuk menentukan pilihan. Dari sudut pandang apa aku harus memilih salah satu dari mereka. Dari penampilan mereka hampir semuanya sama, bermuka bagus, berbadan bagus dan yang jelas semuanya hampir terlihat sempurna. Gaya merekapun cukup lumayan berani dengan kondisi seperti itu. Kondisi tidak mengenakan sesuatu apapun. Ada yang tangannya berkacak pinggang, menopang dagu, sedekap dan lain-lain. Pokoknya gaya-gaya yang seandainya aku ada disitu, aku tidak bisa melakukannya. Bukan tidak bisa bergaya, tapi mungkin aku akan sibuk mencari sesuatu untuk menutupi anuku. Jadi mana sempat aku untuk bergaya. Membayangkan itu aku jagi geli dan bergidik.

“Bagaimana?”

“Semuanya nampak membinggungkan bagiku.” Sambil kutarik nafas dalam-dalam aku bersandar pada kursi. Aku menatap lurus kedepan, kegambar-gambar yang masih terpampang didepanku.

Boby menatapku, sepertinya dia ingin memastikan apa yang sebenarnya membinggungkan bagiku, mungkin? Karena dia menatapku dengan tajam.

“Jadi?”

Aku mengangkat bahu yang dibalas oleh Boby dengan mengangkat bahunya juga.

“Semuanya terlihat bagus!” jawabku mencoba singkat.

“Tapi aku tak tertarik dengan itu semua.” Sambungku! Mengantisipasi Boby biar tidak berfikir hal lain.

“Maksudnya?”

“Ya…seperti yang kamupun bisa lihat, semua orang yang ada didalam sana tidak bisa aku pungiri kalau mereka memang tampak bagus semua, Cuma kalau aku harus memilih. Aku binggung!”

“Karena apa?”

“Entahlah! Akupun binggung untuk mengutarakannya.”

“Gua tau alasanya?” jelas Boby yang membuatku terkejut, dan jelas-jelas membuatku jadi penasaran, sebenarnya apa yang dia tau? Aku tidak mencoba bertanya apa? Tapi aku mencoba menunggu. Karena aku tau dia [asti akan mengutarakan itu.

“Loe gak mau jujur.” Jelas Boby singkat. Yang membuatku mengerenyitkan dahi. Dari tadi dia selalu bilang kalau aku harus jujur dan jujur. Jadi apa yang harus aku utarakan lagi, tadi aku mencoba untuk jujur, tapi kenapa Boby masih menuntut kejujuran dariku. Jujur yang seperti apa yang dia mau? Aku makin tidak mengerti dengan ini semua.

“Maksud kamu?” kini aku yang bertanya.

“Biar hati dan matamu yang berbicara?”

“Sudah!” jawabku mantap, walau aku tak mengerti maksud ucapan Boby sebenarnya.

“Lalu kenapa tadi loe bilang kalau mereka itu semuanya bagus, alasanya apa?” tengorokanku terasa tercekat mendengar pertanyaan Boby. Aku kena skak mat dari pernyataanku tadi.

“Kamu bisa lihat sendiri, semuanya bagus kan?” aku mencoba menyamakan persepsiku dengan Boby. Tapi kelihatanya tak seperti yang kuharap. Boby dengan tatapan menuntunya dia terus memandangiku. Suasan hening sejenak. Tak ada reaksi dari Boby, dia terus mengulirkan crusor untuk menganti gambar-gambar di depanku. Akhirnya Boby menatapku, setelah beberapa saat tadi aku diam.

“Alasannya apa?” Tanya Boby ulang. Aku tidak buru-buru menjawabnya. Aku menarik nafas dalam.

“Karena memang mereka bagus.”

“Apanya?”

“Penampilanya.” Jawabku singkat.

“Lalu?”

“Maksudnya?” aku tak mengerti.

“Apalagi?”

“Muka, gaya, itunya dan semuanya! Puas!” jawabku sedikit kesal, karena sepertinya Boby ingin mendesaku. Dia kini tersenyum.

“Jadi sekarang loe bisa memilihnya kan?”

“Memilih! Untuk apa?”

“Menentukan yang loe suka.”

“WHAT!”

“Loe tadikan sudah melihat, dan bisa menilainya. Sekarang gua Tanya, loe suka yang mana? Pasti loe punya pilihan kan?” Boby memastikan.

Tanpa menunggu lama aku langsung menunjuk kesalah satu gambar yang kebetulan sedang terpampang didepanku. Bukan karena aku ingin memilihnya, melainkan aku ingin cepat menyelesaikan obrolan kami yang dari tadi membuatku binggung.

“Jujur!” ucap Boby terdengar menuntut. Aku yang mendengar hanya mampu ketar-ketir sendiri. Ternyata dia tau kalau jawabanku tadi asal. Kini aku mencoba lebih serius. Serius dalam mengikuti instruksi dan mengamati gambar yang dari tadi dibolak-balik oleh Boby, dari gambar pertama dan kembali kegambar yang pertama lagi. Terus. Karena sekarang aku sadar, kalau aku tidak mengikuti instruksinya dengan benar, hal ini pasti tidak akan cepat selesai. Buktinya tadi, setiap aku mau mencoba menghindar ataupun tidak serius terhadap semuanya, hal itu malah membawaku kewaktu yang makin lama dan makin memusingkan bagiku.

“Stop! Sepertinya dia yang menurutku memiliki nilai lebih dari yang lain.” Aku mencoba jujur dengan jawabanku. Dengan kutunjukan muka serius, biar lebih meyakinkan. Setelah dari beberapa lama pengamatanku, aku memutuskan kalau dia punya kelebihan dari yang lain. Dan aku berharap Boby tidak menghambat itu semua.

Boby mengamati gambar pria yang tadi aku tunjuk dan menjadi pilihanku. Pria muda, kira-kira seumuran denganku. Kulitnya sedikit gelap. Bola matanya yang kecoklatan terlihat sayu. Dengan gaya tangan bersedekap sepertinya dia sedikit menutupi tubuhnya yang kurang atletis, terlihat dari bentuk perutnya yang tak terlihat satu pack-pun.

“Apa yang membuat loe tertarik memilih dia?”

“Keberaniannya! Coba kamu lihat, dibandingkan dengan yang lain dia cukup berani dengan modal yang dia punya. Dari muka, tubuh dan gayanya terlihat biasa saja bahkan bisa dibilang kurang bagus bila dibandingkan dengan yang lain, walau tak semuanya tampak bagus, tapi masih ada kelebihan dari mereka dibandingkan dengan dia, semuanya terlihat serba kurang. Tapi aku salut dengan keberaniannya.” Jelasku.

“Ok! Kalau yang lain?”

“Apanya?”

“Tadi loe menilai secara mentally, kalau secara fisikly yang mana pilihan loe?”

Kukira obrolan ini akan beres sampai disini, setelah aku mencoba menjawab dengan jujur tentunya, tapi ternyata masih ada buntutnya, sesuatu yang sepertinya akan makin panjang saja tema yang akan kami bahas. Tapi tak papa lah, biar semuanya jadi clear.

“Kalau kamu sendiri pilih yang mana?” aku balik bertanya.

“Sekarang kita coba focus ke loe aja dulu.”

Enak sekali Boby bilang seperti itu.

“Gak fear dong, kenapa aku yang menjadi korban?” aku merasa keberatan atas pernyataan Boby.

“Disini tidak ada yang dijadikan korban, dan yang jelas tidak ada negosiasi.” Ucap Boby tegas.

Aku hanya bisa mendengus, dalam hati aku kesal. Mudah-mudahan hasilnya nanti tidak membuat aku kecewa dengan apa yang telah aku lakukan saat ini.

Kini Boby mengulirkan lagi gambar-gambar yang ada dihadapanku. Satu persatu aku amati dengan seksama. Dan semua nampak tidak ada bedanya. Semua terlihat sama, muda, tampan, berbadan bagus dan (sorry) berpenis besar. Dengan penampilan yang mendekati sempurna seperti itu kenapa mereka mau melakukan itu semua ya? Memang terlalu sempitkan pandangan mereka terhadap hidup ini, sehingga mereka harus memilih hidup dengan cara seperti itu. Padahal kan masih banyak pekerjaan yang bisa mereka peroleh, dengan penampilan fisik mereka yang terlihat masih kuat, mereka bisa menjadi apapun yang mereka mau, selain pekerjaan ini tentunya! Pekerjaan yang menaruhkan hargadiri sebagai jaminannya.

“Bagaimana?” akhirnya Boby berhenti pada pilihan terakhir. Dia tidak mengulirkan gambar-gambar itu seperti tadi, mungkin dia merasa aku sudah cukup untuk mengamati itu semua. Dan sekarang aku harus mebuat pilihan. Pilihan? Ya…pilihan yang sulit bagiku.

Kini kuambil alih kendali laptop ku. Kucari gambar yang tadi sempat aku rasa akan menjadi kandidiat yang akan aku pilih.. Akhirnya aku menemukannya, dihalaman pertama. Seorang pria tampan dengan kulit putih. Dengan gaya berkacakpinggang dia terlihat lebih macho dengan didukung garis mukanya yang keras.

“Dia?” Tanya Boby memastikan.

“Menurutmu bagaimana?”

Boby mengamati gambar didepanku. Lalu dia tersenyum.

“Lumayan, apa yang membuat loe milaih dia?”

“Semuanya! Tampang, badan dan gayanya boleh juga.” aku mengungkapkan itu tanpa sungkan.

“Bagus!” kata Boby singkat yang membuatku tidak mengerti dengan maksud kata bagus yang dia ucapkan barusan. Bagus untuk apa?

“Loe tau apa maksud gua nyuruh loe untuk melakukan itu semua?” aku mengelengkan kepala.

“Gua ingin loe mencoba mengerti sesuatu yang mereka rasakan, Sesuatu yang mungkin sebelumnya belum loe mengerti. Dan biar loe bisa faham dengan apa yang dia rasakan. Mungkin tadi itu hanya contoh kecil saja dari apa yang perlu difahami. Dan mungkin diluar sana loe akan lebih dituntut untuk memahami sesuatu yang lebih dari sekedar ini.Disini gua Cuma mau ajak loe untuk lebih mengerti dan memahami itu, bukan untuk mengajak loe menjadi seperti itu. Sebenarnya loe bisa juga berpura-pura mengerti mereka, Cuma kalau semuanya diawali dengan kepura-puraan akhirnya akan mendapatkan sesuatu yang tak nyata.” Ucap Boby terlihat serius. Yang membuat aku mencoba untuk menelaah semua ucapan Boby barusan.

“Sudahlah! Gak perlu terlalu dalam memikirkan ucapan gua tadi.” Ucap Boby sambil menepuk pundakku. Aku menoleh padanya dan dia berlalu. Dia pergi kedapur. Aku menarik nafas dalam, sambil ku close semua gambar yang terpampang didepanku.Terdengar suara sedok beradu dengan gelas dari dapur. Boby keluar dengan dua cangir ditangannya. Aroma kopi tercium olehku. Aroma yang menurut orang lain katanya wangi tapi tidak menurutku, aroma kopi seperti bau air kencing menurutku, entah kenapa? Bukan karena aku tidak suka kopi lalu aku bilang seperti itu tapi karena itu yang kurasakan.

Boby meyodorkan secangkir teh yang masih mengepulkan asap. Aroma fanila dari teh berbaur dengan aroma kopi.

“Terimakasih.” Ucapku sambil ku seruput teh yang masih hangat itu. Kini cairan hangat dan manis mulai menyegarkan tengorokan dan perutku. Rasa penat yang tadi terasa kini telah berubah, menjadi rasa segar disekujur tubuhku.

“Kamu dari mana tadi? Datang-datang langsung tidur?” tanyaku sambil kulihat Boby yang sedang menikmati kopinya. Dia sibuk meniup-niup tepi cangkir kopinya dengan sesekali dia seruput kopinya sedikit demi sedikit. Sepertinya dia tidak memperdulikan pertanyaanku tadi. Karena setelah beberapa saat tadi dia hanya diam, cuek, asik dengan kopinya.

“Heh!” aku menepuk lengan Boby.

“Eh..Loe nanya apa tadi?” jawab Boby sedikit gugup. Aku hanya mendengus melihat reaksinya.

“Kamu dari mana tadi?” tanyaku lagi.

“Oh…gua..? tadi…? Lari pagi.”

Aku mengerenyitkan dahi. Kutatap Boby lekat-lekat, dari atas kepala sampai ujung kaki. Penampilanya tidak seperti orang yang baru lari pagi. Kemeja dan celana Jins yang dia pakai tidak memiliki dasar kuat untuk alasan seperti itu. Kini kulempar pandanganku kemuka Boby yang terlihat lempeng. Ekspresi mukanya tampak cuek.

“Dengan pakaian seperti ini?”

“Iya! Memang kenapa?”

Aku tidak mau melanjutkan pertanyaanku, karena aku tau pasti dia sudah punya cukup banyak alasan untuk menjawabnya. Dari pada aku menghabiskan energy untuk mendengarkan alasanya, lebih baik aku mencoba diam. Sementara itu disana Boby tersenyum kecil.

“Kamu gak kerja?” tanyaku sambil kulirik jam tanganku. Waktu telah menunjukan pukul 11 siang, tak terasa aku telah menghabiskan 4 jam didepan laptop. Patas saja punggungku sudah terasa penat dan panas.

“Nanti.”

“Sekarang sudah jam sebelas, memang kamu nanti gak telat?”

“Aku ijin masuk setengah hari.”

“Memang kamu kenapa? Sakit?” tanyaku heran. Sepertinya dia baik-baik saja? Malas saja mungkin dia.

“Gua lagi males aja. Sekali-kali ijinkan gak masalah.”

“O….” jawabku datar. Kutatap berkas-berkas yang banyak berceceran diatas meja kerjaku. Terlihat berantakan. Ku pungut kertas-kertas yang berserakan dilantai. Kususun dan ku letakan disamping laptop. ‘ternyata masih banyak data yang perlu aku cari’ aku menggumam dalam hati. Kuperhatikan semua tumpukan kertas yang kini tersusun rapih. Kertas yang berisi semua data-data yang selama ini aku coba kumpulkan. Data yang aku peroleh entah ketika aku sengaja mencarinya dan bahkan data yang sengaja aku tidak mencarinya dan kebetulan aku menemukannya, jadi aku ambil.

“Bob!”

“Ya!”

“Em…” mendadak aku lupa dengan apa yang akan aku tanyakan. Aku mencoba mengingat-ingatnya lagi. Apa ya yang tadi akan aku ucapkan? Kok mendadak lupa?

Boby yang melihatku diam, memperhatikanku lekat-lekat, sepertinya dia menggu. Dia meletakan cangkirnya diatas meja kerjaku. Ternyata air kopinya telah habis. Dia masih menunggu dan terus menatapku.

“Em…aku lupa….”

“U…makanya sekali-kali minum kopi kayak gua, biar otak loe lancar mikirnya. Loe taukan kadar apa yang ada dalam kopi, walau kalau kata loe kafein itu gak baik untuk kesehatan tapikan cukup baik untuk merangsang otak loe biar gak lelet kayak punya loe.” Kata Boby sambil menyambar cangkir bekas kopinya. Dia berlalu, menuju dapur. Dengan sebelumnya mengacak-acak rambutku dulu. Aku yang mendengar itu hanya mampu manyun. Dan tiba-tiba..

“Aku baru ingat!” teriakku spontan. Karena mendadak pertanyaan yang tadi hilang dari otakku mendadak datang lagi. Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku menghampiri Boby yang sedang mencuci cangkirnya tadi.

“Kenapa sekarang kamu berubah pendirian? Dulu kamu sepertinya tidak setuju dengan apa yang aku buat ini, tapi kenapa sekarang kamu malah seperti memberi aku jalan untuk itu semua? Kenapa?”

“O…itu, memang manusia gak boleh berubah? Lagipula gua memberi jalan ke elo bukan karena gua setuju tapi gua mau kalau elo itu jalanya gak setengah-setengah.”

Kuletakan cangkir bekas minum ku. Dia mengambilnya lalu mencucinya.

“Tapi ingat! Ucapanku waktu itu perlu loe pikirkan lagi.”

“Perkataan yang mana?”

“Semuanya.”

Aku mengerenyitkan dahi. Mencoba mengingat kata mana yang harus aku ingat. Terlalu banyak yang telah Boby ucapkan padaku. Jadi yang mana?

Boby menyimpan cangkir-cangkir yang tadi dia cuci diatas rak. Tangannya yang basah dia lap dengan lap yang mengantung didekat kulkas.

“Kapan loe mulai analisanya?” Tanya Boby yang kini berdiri disampingku. Aku meliriknya sejenak. Dia menatapku. Aku menarik nafas. Iya? Kapan aku memulainya? Sedangkan waktu mulai menyempit. Target aku ingin menyelesaikannya akhir bulan ini. Tapi kira-kira dua minggu yang tersisa bisa cukup untuk aku mencari data-data itu, sepertinya mustahil. Tentunya mustahil! Kalau aku tidak secepatnya untuk bergerak dari sekarang. Tapi kapan?

“Perlu bantuan gua gak?” kata Boby yang membuatku terkejut. Sepertinya Boby cukup interest terhadap proyekku ini, sampai dia mau menawarkan bantuannya segala, padahal dulu dia sempat tidak setuju dengan apa yang aku buat sekarang. Tapi, mungkin benar kata Boby, manusia bisa berubah. Begitu juga dengan Boby, mungkin sekarang dia sudah berubah.

“Memang kamu bisa bantu apa?” tanyaku memancing.

“Apa saja, yang penting halal.” Jawabnya dengan ekspresi datar. Aku tersenyum. Itulah Boby. Orang dengan beribu ekspresi. Ekspresi yang sering dia keluarkan tidak sesuai dengan situasi.

Kira-kira apa yang ku perlukan dari Boby? Dia orangnya sangat friendly, mudah bergaul, pintar, jadi? Kira-kira tugas apa yang tepat untuknya ya? Ku otak-atik otakku mencari jawaban.

“Loe udah dapat target lokasi mana yang akan loe jadikan tempat riset?”

“Target pasti sih belum, Cuma aku baru punya daftar lokasi mana saja yang akan aku datangi. Bukan nama tempatnya sih, Cuma tempat-tempat apa saja yang rencananya akan aku kunjungi. Gitu saja”

Boby memonyongkan bibirnya dan alisnya yang tebal mengerenyit. Sepertinya dia kurang puas dengan apa yang aku bilang tadi.

“Baru itu doang! Mang selama ini apa saja yang loe lakukan?” Boby sepertinya menyalahkanku. Dan tatapan matanya mengejek. Membuatku merasa tersindir dengan apa yang telah dia katakan dan lakukan. Tapi bukanya seharusnya aku malu, karena aku belum begitu punya banyak data informasi yang seharusnya sudah aku kumpulkan. Benar kata Boby, apa saja yang telah aku lakukan selama ini?

“OK! Gua punya rencana!” kata Boby singkat. ‘Rencana apa yang Boby punya?’ aku menunggu konfirmasi berikutnya. Boby yang tadi langsung meninggalkanku setelah bicara seperti itu kini sibuk merapikan diri. Dia sambar jaketnya yang mengantung di samping tempat tidurnya.

Aku membiarkan semua yang dilakukan Boby. Tapi Boby yang kini telah berdandan rapi berdiri dihadapanku. Kenapa dia? Tak seperti biasanya, kalau dia mau pergi kerja juga dia biasanya hanya berteriak bila berpamitan denganku juga, tapi kenapa sekarang. Mungkin dia akan pake tadisi lama kalau mau pergi. Cium tangan. Seperti tradisi keluargaku didesa, yang hingga kini masih sering aku lakukan. Tapi apakah Boby akan melakukan itu juga, padaku? Aku merasa jadi salah tingkah setelah memikirkan itu.

“Ayo! Loe juga ikut.” Kata Boby menatapku mengajak.

“Kemana? Kerja? Ngapain aku ikut sama kamu?” tanyaku heran. Tak biasanya Boby mau kerja pake ngajak-ngajak aku segala. Lagi pula mau apa aku nanti disana?

“Sudahlah…! Ikut aja sama gua.” Boby terlihat memaksa.

“Aku sibuk!” aku beralasan. Sebenarnya aku tak mengerti dengan maksud Boby mengajakku pergi ketempat kerjanya. Dengan tanpa mempedulikan alasanku, Boby menarik lenganku. Aku yang tak menyangka mendapat perlakuan seperti itu, hanya mampu mengikuti apa yang dia mau.

“Loe ganti baju! kita keluar.”

“Kemana?” tanyaku dengan sedikit menahan tubuhku yang kini didorong oleh Boby.

“Sudahlah…! Ganti saja baju loe.” Boby masih mendorongku. Akhirnya aku pasrah. Walau sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa maksud Boby, tapi biarlah. Aku masuk kamar. Kucari celana jins dibalik tumpukan baju diatas gantungan baju. Beberapa kemeja Nampak mengantung disana. hari ini aku lupa mencucinya. Karena aku terlalu sibuk dengan proyekku ini. Kusisir rambutku dengan kesepuluh jari. Kulihat sekilas tubuhku dari bali kaca. Sudahlah! Gak perlu rapi-rapi. Pikirku sambil berlalu.

Boby sudah menunggu diruang tamu. Sebenarnya kami agak sedikit binggung dengan sebutan untuk ruangan itu, kalau dibilang ruang tamu kami kebetulan sangat terlalu jarang didatangi tamu dan yang kedua kami memanfaatkan ruangan itu juga sebagai tempat makan kami dan segala aktifitas selain tidur dan mandi. Diruangan itu hanya ada beberapa benda. Satu meja dengan tiga kursi lipat mengelilinginya dan satu meja kecil disudut ruangan, tempat dimana biasa aku mengerjakan proyekku.

“Sebentar!” aku menahan langkah. Aku teringat. Ada sesuatu yang tertinggal. Aku buru-buru masuk kedalam kamar kembali. Kucari jaket yang biasa mengantung dibalik pintu. Jaket berbahan levis yang sering aku pakai kemana-mana. Lumayan untuk membantu menghindari dari terik panas matahari pada siang hari dan udara dingin pada malam hari. Dan yang pasti aku merasa nyaman bila memakainya. Karena kalau masalahnya itu terlihat bagus atau tidaknya bila kupakai aku tidak begitu memperdulikan itu.

Akhirnya kami meninggalkan tempat kostan. Tentunya dengan beribu tanya kini yang bermunculan dikepalaku. Akan dia bawa kemana aku ini. Ketempat kerjanya? Kukira tidak mungkin.

?????

Boby mengendarai sepeda motornya melalui jalanan yang kini nampak padat. Sepertinya semua kendaraan berkumpul disini. Dari mobil pribadi dan angkutan umum semua memadati jalan yang sebenarnya sudah cukup lumayan lebar, tapi entah kenapa masih belum bisa menampung semuanya. Atau mungkin terlalu banyak kah peminat pengguna jalan ini hingga mereka rela berdesak-desakan diterik matahari dan buaian asap kenalpot yang menyesakan.

Kututup hidungku dengan sapu tangan. Aku tak mau cepat mati dengan merelakan paru-paruku diisi dengan asap hitam yang banyak berterbangan disekitarku. Kuatur nafas. Walau terasa sesak karena sulit bernafas tapi setidaknya aku mengurangi polusi itu masuk ke tengorokanku.

Udara disekitarku seperti menguap. Panas akibat sinar matahari bercampur dengan panas dari mesin semua kendaraan disini makin menyempurnakan situasi sekarang, layaknya seperti berdiri diatas bara.

“Memang kita harus kesini ya?” tanyaku kepada Boby yang terlihat santai mengadapi situasi seperti ini. Mungkin dia sudah terlalu biasa. Jadi tidak mempermasalahkannya. Tapi sepertinya tidak. Setetes keringat mulai mengalir dari balik helmnya, mengalir membentuk garis lurus tepat dilehernya. Jadi! Diapun merasakan apa yang kurasakan sekarang.

Tadinya aku akan mengusulkan untuk putar balik, tapi ternyata ideku itu kurasa kurang begitu baik. Dibelakang kami semua kendaraanpun sama. Saling berjejal. Bahkan tak menyisakan celah sedikitpun untuk bergerak. Situasi seperti apa ini? Kenapa aku bisa terjebak dengan situasi yang mengerikan ini? Aku mulai tak sabar dengan situasi ini. Hawa panas dan aroma menyesakan ini membuatku stress. Akhirnya satu kendaraan didepan kami mulai bergerak, diikuti dengan kendaraan lain yang kini mulai merangkak maju, perlahan tapi cukup memberi harapan untuk ku agar cepat terhindar dari sini.

Dengan begitu besar pengorbanan yang harus aku lakukan, akhirnya kami terbebas dari kurungan setan tadi. Sepertinya seper seratus dari nyawaku telah aku habiskan disana.

Cukup lumayan lama kami terkurung disana, tapi kini kami telah terbebas. Boby meluncurkan sepeda motor yang kami kendarai melalui pohon-pohon berukuran raksasa yang banyak berjajar ditepi jalan. Hawa sejuk menyambut mukaku yang penuh dengan peluh. Rasa segar kini membuai seluruh ragaku. Aku menarik nafas dalam, mencoba menguras sisa-sisa polusi yang tadi sempat aku telan.

Jalan disini tampak berbeda dengan yang tadi, disini sangat lenggang. Hanya beberapa kendaraan yang nampak. Kenapa semua orang tidak ada yang tertarik dengan situasi seperti ini, kenapa mereka malah lebih memilih tempat itu. Tempat yang bisa membuat orang menjadi gila. Kenapa mereka tidak menjadikan tempat seperti ini jadi pilihan. Udara disini lebih terasa segar bila dibanding ada disana, walau tak sesegar yang ada didesaku. Tapi kenapa tidak ada satupun dari mereka yang tertarik. Begitu bodohkah mereka? mungkin!

Boby masih melaju diatas jalan aspal dengan motif hitam putih yang terpampang diatasnya. Warna yang diakibatkan oleh sinar matahari yang terhalang oleh dedaunan dari pohon yang banyak berjajar ditepi jalan. Membentuk lukisan abstrak yang sangat panjang.

“Kita mau kemana?” akhirnya aku bertanya, karena setelah berberapa lamanya tadi kami belum sampai pada tujuan.

“Sebentar lagi juga sampai.”

Aku melihat kesekeliling. Memastikan akan dibawa kemana aku ini? Daerah ini jarang sekali aku kunjungi, bahkan seingatku aku baru tau kalau dikota ini ternyata masih ada tempat seasri ini. Syukur lah kalau begitu, berarti pemerintah kota ini masih cukup peduli dengan kebutuhan pokok kota ini. Kebutuhan terhadap udara yang nyaman dan segar. Hawa yang bisa menetralisir rasa penat dan stress yang diakibatkan oleh kota ini. Disepanjang jalan ini hanya nampak berjajar rumah-rumah pribadi. Tak terlihat pertokoan atau tempat keramaian didaerah ini. Semuanya terlihat sama. Rumah-rumah mewah dengan halaman yang luas tapi seperti tidak berpenghuni, semuanya terlihat sepi.

Boby berbelok. Kami keluar dari jalan utama. Memasuki jalan satu arah. Jalan yang sepertinya hanya cukup untuk satu mobil saja. Nampak beberapa orang sedang ngobrol dipingir jalan ketika kami melewati jalan itu. Mereka menatap kami. Siapa mereka? Dan itu juga mungkin yang mereka pikirkan tentang kami.

Aku terkejut ketika Boby ngerem mendadak. Kulihat didepan tidak ada apa-apa, tapi dimana ini? Kini dihadapanku berdiri kokoh sebuah bangunan dengan gaya modern minimalis. Bangunan yang tidak terlalu besar. Tapi cukup lumayan cantik dan asri.

“Kita dimana Bob?” tanyaku memastikan. Karena memang aku tidak tau dengan lokasi aku berada sekarang. Aku celingukan, mencari keterangan tambahan. Ini mungkin sebuah kafe. Jadi, pasti ada namanya. Kuputar-putar pandanganku keseluruh sudut. Tapi tak kutemukan nama itu.

“Itu yang loe cari?” Boby menunjuk kearah nama yang menempel pada dinding. Sebuah kata yang tidak terlalu besar terlihat disana. Didinding dekat pintu. Pintu masuk mungkin? Kata FRIEND tertulis disana. kata yang berada diantara rumpun bambo Jepang.

Kulihat Boby yang kini tersenyum. Sepertinya dia tau apa yang kucari tadi. Tanpa banyak bicara dia memarkirkan sepeda motornya dibawah pohon kemboja. Pohon yang sering mendapat predikat buruk dari kebanyakan orang. Karena tumbuhnya yang banyak disetiap makam. Entah apa maksud sipenanam menjadikan bunga ini sebagai pilihan penghias makam. padahal menurutku, bunga ini sangat cantik. Apalagi sebagai penghias taman seperti ini. Aku salut dengan decorator taman ini, dia cukup jeli menjadikan bunga kemboja ini sebagai pilihan penghias taman ini. Yang terlihat indah.

“Ini tempat apa?” tanyaku.

“Kafe!”

“Tempat kamu kerja?” sebelumnya memang aku belum tau tempat kerja Boby, Cuma aku tau kalau dia kerja di sebuah kafe. Nama dan tempatnya pun aku tidak ingat lagi. Mungkin ini. Boby tersenyum. Dari tadi dia tidak banyak bicara, sepertinya ada sesuatu yang dia coba untuk tutupi atau dia sembunyikan padaku, tapi apa? Aku tidak banyak bertanya. Kuikuti langkah Boby yang kini berjalan memasuki kafe.

Dari dekat, teras kafe ini terlihat asri. Rumpun bamboo Jepang yang sengaja banyak ditanam di sana membuat suasana menjadi hangat. Dinding kaca yang dialiri air menambah teras ini terlihat kozi.

Kami masuk. Seorang pelayan menyambut kami dengan ramah. Dengan tersenyum dia mempersilahkan kami duduk. Disini terlihat sepi, hanya nampak beberapa orang duduk di pojok ruangan. Kursi yang lainnya terlihat kosong. Kurang peminatkah kafe ini? Padahal menurutku desain kafe ini cukup lumayan bagus dan menarik. Terlihat simple tapi tidak hilang taste modernnya. Meja dan kursi yang diatur sedemikian rupa membuat tempat ini makin nyaman.

Boby tidak mengacuhkan pelayan itu. Dia berlalu. Mau kemana dia? Padahal bayak tempat disini yang kosong. Aku hanya mengikutinya dari belakang dengan tidak mau bertanya mau kemana dia sebenarnya. Sepertinya dia sudah sering datang kesini, jadi dia sudah punya tempat khusus diamna dia biasa duduk. Mungkin!

Setelah melalui ruang kafe itu, kini kita berada dihalaman belakang yang terlihat luas, lebih luas dibandingkan dengan perkiraanku tadi ketika melihat bangunan ini dari luar. Tapi tidak itu saja, ternyata dibelakang bengunan ini juga masih ada bangunan lain yang tak kalah besar dibandingkan dengan bangunan kafe didepan. Entah bangunan apa itu?

Kini aku terfokus dengan halaman belakang yang luas ini. Halaman yang juga dimanfaatkan untuk kafe out door. Dan disini lebih ramai pengunjung bila dibandingkan dengan diruangan tadi. Nampak beberapa kelompok orang mengisi kursi-kursi yang banyak disini. Semunaya seperti sedang serius dengan urusan masing-masing. Segerombolan orang ditengah halaman dekat air mancur terlihat sedang membicarakan sesuatu yang mengelikan. Mungkin? Karena mereka sekarang sedang tertawa terbahak-bahak, bahkan memancing kelompok lain untuk sekedar melirik mereka. Berbeda dengan dua orang yang sedang duduk di bawah pohon bunga kemboja. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius. Bahkan mereka tidak terpancing dengan kegaduhan yang ditimbulakan oleh sekelompok orang tadi. Mereka terlihat benar-benar serius. Aku terus memperhatikan mereka yang tiba-tiba salah satu dari mereka menatapku. Aku buru-buru memalingkan muka. Takut dia tau kalau aku tadi memperhatikannya.

Boby mengajakku duduk di sudut halaman. Dekat kolam kecil yang dihuni ikan koi. Ikan yang sangat istimewa menurut banyak orang. Katanya sih, ikan ini pembawa keberuntungan, jadi siapa saja yang memilikinya akan mendapatkan keberuntungan.Terbukti dari banyaknya orang yang ingin memilikinya. Selain dari bentuknya yang memang cantik dan motif warna yang unik membuat ikan ini menjadi populer bagi kalangan pengemar ikan hias. Tapi tidak itu saja, harga ikan ini pun cukup lumayan fantastis bila dibandingkan dengan ikan yang lainnya. Bisa-bisa dengan harga satu ikan koi saja kita bisa membeli hampir setengah ikan yang ada dipasar ikan, kira-kira seperti itu. Tapi menurutku itu terlalu berlebihan. Bagaimana pun dia hanya seekor ikan. Ikan yang tidak berbeda dari ikan yang lainnya. Aku memalingkan muka dari segerombolan ikan yang kini sedang berebut makanan. Ku lemparkan pandanganku menyapu setiap sudut ruangan. Tempat yang cukup strategis untuk melihat semua sudut kafe ini. Orang-orang yang ditengah halaman dan yang terlihat serius tadi terlihat jelas dari sini.

“Mas!” Boby mengangkat tangannya. Pelayan yang dipangil mendekat.

“Silahkan.” Kata pelayan itu sopan sambil menyodorkan daftar menu kepadaku dan Boby. Kulihat Boby kini sibuk dengan pilihan menu yang ada didaftar itu. Dan sipelayan berdiri dengan sabar disamping Boby. Kulirik daftar menu yang ada ditanganku.

‘Hanya untuk inikah dia membawaku sejauh ini?’

“Saya pesan sandwich tuna dan minumnya moka late.” Boby menyerahkan daftar menunya kepelayan yang menyambut itu dengan senyuman. Senyum ceria, karena dia tidak perlu terlalu lama berdiri disitu hanya untuk menunggu tamunya. Boby menatapku. Dari begitu banyak menu yang terpampang disitu tak satupun yang ingin aku pilih. Pertama, aku tak lapar. Kedua, kenapa untuk makan menu seperti ini aku harus mengikuti kemauan Boby yang tadi telah begitu bayak pengorbanan yang telah aku lakukan.

“Sama.” Jawabku singkat. Lebih karena rasa kemanusiaan aku memililih itu. Kini pelayan itu makin tersenyum lebar. Dengan membungkukan badan dia akhirnya meninggalkan kami. Kini waktunya aku menelanjangi Boby.

“Hanya untuk inikah kamu mengajakku sejauh ini!” kutahan nada suaraku dengan menekankan maksud pertanyaanku.

“Memang kenapa?” jawab Boby terlihat santai. Tak terlihat beban yang dia rasakan setelah apa yang kuucapkan tadi. Dengan kesal aku mendengus. Boby makin melekatkan pandangannya padaku. Sedikit gurat senyum terselip ditepi bibirnya. Kukira dia tau apa maksud ucapanku tadi, tapi kenapa dia masih terlihat santai. Seharusnyakan dia merasa bersalah padaku. Aku mengerutu didalam hati.

“Kenapa loe tidak mencoba memesan menu yang belum pernah loe coba. Tadikan cukup lumayan banyak pilihan yang bisa loe pilih.”

Aku hanya bisa mendengus.

“Tenang.” Lagi-lagi Boby mengucapkan itu dengan santai.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan semua ini. Boby membawaku jauh-jauh kesini hanya untuk makan pun sebenarnya itu bukan suatu masalah yang membuatku sedikit kesal padanya. Aku hanya tidak mengerti dengan apa sebenarnya maksud dia ajak aku kesini. Sekedar makan? Aku kira bukan! Jalan-jalan? Aku kira juga bukan. Aku sudah mencoba menuruti apa maunya, dengan maksud dia akan menjelaskan apa maksudnya padaku, tapi setelah aku menunggu ternyata dia seperti tidak mempunyai alasan sampai mengajakku kesini. Atau mungkin belum? Aku mencoba berfikir positif. Mungkin! Aku masih berharap.

Tidak beberapa lama pelayan tadi datang. Kedua tangannya membawa nampan penuh dengan menu pesanan kami. Tak banyak, tapi cukup memenuhi nampan berukuran kecil itu. Semua pesanan kami dia simpan diatas meja. Aku baru sadar. Minuman yang aku pesan ternyata..

“Mas, minta air mineral satu.” Aku mendorong secangkir moka late. Pesananku yang salah. Boby tersenyum.

“Sebaiknya loe coba dulu.” Boby mendorong cangir itu kehadapanku lagi.

Aku mengangkat kedua bahuku spontan dengan cepat.

“Kenapa?”

“Aku tidak mau mencoba sesuatu yang sudah jelas menurutku. Jelas-jelas aku tidak menyukainya.”

“Kenapa?”

“Untuk apa?”

“Memastikan.”

“Sudah jelas menurutku.”

“Waktu itu. Belum tentu untuk sekarang.”

“Menurutku sama. Waktu tak kan banyak merubahnya.”

“Siapa tau?”

“Kenapa harus menaruhkan sesuatu yang sudah pasti.”

“Untuk sesuatu yang sedikit.”

Tanya jawab singkat kami tertahan disitu. Bukan untuk berhenti. Pelayan yang membawa air mineral pesananku kini berlalu. Setelah tadi menyampaikan pesananku. Biasa! Dengan senyum dan sapaan ramah mereka. Suasana terasa hening sesaat.

“Menurut loe tadi, waktu tidak banyak merubahnya. Jadi ada kan yang berubah dari itu sebelumnya.” Sepertinya dia menjelaskan maksud ucapannya tadi.

“Kenapa loe gak coba cari tau seberapa besar perubahan itu.” Sambung Boby.

“Untuk apa? Menyakiti diri.” Jawabku ketus.

“Untuk merubah asumsi loe. OK! Gua tau apa yang loe rasakan. Tapi menurut gua gak salah bila loe mencoba itu lagi. Memastikan hal itu.”

“Came on! It’s just a coffe!” aku tak ingin memperpanjang masalah ini.

“Seharusnya aku yang bilang seperti itu!” Boby terlihat kesal.

Semilir angin menerpa mukaku yang terasa lengket. Debu, limbah kenalpot dan keringat membuat mukaku terasa tebal. Kupandang setiap sudut. Tak kutemukan yang kucari.

“Toilet disebelah mana?” tanyaku. Boby celingukan. Sepertinya diapun sama seperti aku, tak tau dimana itu. Tapi tidak! Ternyata dia lebih jeli dari pada aku. Boby menunjuk kearah plang dengan tulisan berwarna hijau terang mengunakan spotlight.

“Perlu dianter gak?” Tanya Boby. Becanda. Tapi mukanya terlihat serius, tak terlihat kalau dia sekedar basa-basi menawarkan itu.

“Yakin gak mau diantar?” Tanya Boby lagi.

“Gak perlu! Doakan saja aku.” Jawabku sambil kutinggalkan tempat itu.

Aku berjalan menyusuri gang sempit yang hanya diterangi beberapa lampu kecil disetiap sudut ruangan itu. Cahaya matahari sepertinya tak mampu membiaskan sinarnya sampai kesini. Walau diluar terasa terang bengerang tapi disini hanya lampu-lampu kecil itu yang memberikan cahaya penerangan. Seperti mau memasuki ruangan bioskop, Cuma bedanya disini lampunya letaknya diatas. Aku menyusuri gang itu cukup dalam, tapi belum kutemukan juga ruang toilet disini. Suasana temaram seperti ini membuatku harus lebih ekstra jeli untuk melihat setiap sisi tembok. Siapa tau disitu ada pintu menuju toilet yang tak terlihat olehku dan aku tak mau terlewat karena penerangan yang sangat minim ini.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh orang yang baru muncul dari tikungan didepanku. Dengan jantung yang hampir copot aku merapat didinding dibelakangku. Orang yang mau menabrakkupun sepertinya sama seperti aku. Dengan terhuyung-huyung akibat menghindar dari tabrakan itu dia merapat ditembok didepanku. Dengan muka sedikit pucat dia buru-buru meninggalkanku. Aroma aneh tercium ketika dia melesat dengan menyisakan hembusan angin kemukaku. ‘Kenapa dia?’ kulihat tubuh orang yang akan menabrakku hilang ditelan tikungan pintu masuk.

Di gang ini ternyata ruangannya agak sedikit luas bila dibandingkan gang tadi. Suasananya pun sedikit lebih hangat. Disetiap sudut ruangan dipasang pot-pot bunga. Bunga yang tubuh sampai keatap, mengikuti arah sianar matahari yang dapat masuk leluasa dari atap yang terbuat dari kaca. Sinar matahari siang yang terik membuat ruangan ini terang benderang. Serasa diluar ruangan.

Dua pintu berdampingan didepanku. Gambar kalikatur orang tertempel disetiap pintu. Cuma untuk satu pintu dengan gambar kalikatur seoerang perempuan letaknya agak kesudut ruangan. ‘aneh?’ tidak seperti kebanyakan toilet yang lainnya. Biasanya ukuran ruangn toilet cewek dan cowok kalau gak sama pasti lebih besar punya cewek, karena fungsi dan kebutuhan untuk cewek biasanya lebih banyak dibandingkan cowok. Walau untuk cewek tidak membutuhkan tempat khusus seperti tempat buang air kecil seperti cowok, tapi mereka membutuhkan tempat penganti itu, yaitu toilet itu sendiri, sedangkan ukuran toilet lebih besar dari pada tempat buang air kecil cowok. Jadi untuk menganti tempat itu, biasanya ditoilet cewek untuk toiletnya lebih banyak dari pada punya cowok. ‘Tapi, apa peduliku atas semua itu, mungkin saja mereka membuat ini semua atas pertimbangan yang aku tak tau maksudnya?’ sudahlah!

Belum sempat aku membuka pintu, seorang lelaki keluar dari sana. Dia terkejut ketika melihatku. Dengan gerakan agak kikuk dia menutupi baju bagian bawah dan celananya yang sedikit basah. Accident in toilet. Aku tersenyum padanya, mencoba mengerti situasi seperti itu. Dengan sedikit gugup dia membalas tersenyum. Orang itu terburu-buru meninggalkanku.

Ruangan disini cukup lumayan besar. Kamar toilet berjajar disebelah kiri ruangan. Kira-kira ada delapan bilik. Didepannya terpampang kaca cukup lumayan besar, memenuhi dinding sebelah kanan dengan beberapa wash tafel berjajar dibawahnya. Sinar lampu dari setiap sudut ruangan tak mampu membentuk bayangan tubuhku yang kini membelakangi bilik-bilik yang nampaknya kosong.

Mukaku yang tadi penuh dengan limbah jalan raya ternyata tak butuh sedikit air untuk membersihkannya. Sepertinya percuma kalau aku berharap racun dimukaku bersih dengan hanya membasuhnya, tapi setidaknya aku sudah menguranginya untuk mencemari mukaku. Sekarang sudah sedikit segar dibanding tadi.

Pintu terbuka. Dua orang masuk bersamaan. Sepertinya mereka tergesa-gesa, sebelum melihatku tapi setelah menyadari kalau disitu yang ada tidak hanya mereka. Mereka mencoba lebih santai. Salah satu dari mereka tersenyum padaku dan yang satunya tanpa basa-basi langsung masuk kesalah satu bilik yang berada di ujung ruangan. ‘Mungkin pelangan kafe ini dan pelangan toilet ini juga? terlihat dari pilihan bilik yang dia lakukan. Dari begitu banyak pilihan bahkan tempat yang lebih dekat dia memilih tempat yang cukup jauh dari jangkauannya, kalau bukan karena dia sudah hafal tempat mana yang menurutnya baik untuknya, dari semua yang pernah dia coba. Mungkin!’

Orang yang berdiri disebelahku terlihat tidak tenang. Sesekali tatapan matanya dia lemparkan melalui kaca didepannya. Menatapku. Tingkah lakunya tidak karuan. Membetulkan baju dan rambutnya secara bergantian, sesuatu yang sepertinya tidak perlu dia lakukan. Dia sudah terlihat rapi. Dan tatapan matanya yang selalu tidak lepas dari kaca didepannya. Bukan untuk memastikan penampilannya yang sejak dari tadi dia permasalahkan tapi untuk seperti mengawasiku. Beberapa kali ku tangkap tatapannya sedang memperhatikanku. Mukanya yang gelisah terlihat jelas dari tatapan matanya yang tidak tenang.

“Mas tidak apa-apa?” aku memastikan kalau dia tidak sedang sakit. Tingkah lakunya yang aneh membuatku berfikir kalau dia sedang tidak sehat. Mungkin, tapi sepertinya tidak! Perkiraanku salah. Dia mengeleng. Sambil menunjukan tatapan itu lagi. ‘Mungkin kesendirian yang dia butuhkan, dan keberadaanku membuatnya tidak nyaman, mungkin! Tapi bagaimana dengan orang yang ada didalam sana, apakah dia tidak mempengaruhinya? Sudahlah! Kuputuskan meninggalkannya. Mungkin dia ingin sendiri. Belum sempat aku meninggalkan tempat itu, terdengar suara riuh dari sudut ruangan.